Lihat ke Halaman Asli

Abang Rahino S.

Pembuat film dokumenter dan penulis artikel features

Kampung Pulo: Produk Budaya Permisif

Diperbarui: 22 Agustus 2015   14:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penggusuran kawasan Kampung Pulo masih jadi bahan pembicaraan di berbagai fora. Dari yang resmi sampai obrolan di angkringan. Titik tolak bahasan pun dari berbagai sudut pandang, sangat variatif: sosial, ekonomi, budaya, keamanan, HAM, hukum, kebijakan, kemanusiaan, dan bisa lebih melebar lagi ke mana-mana sesuai siapa yang bicara. Namun ada satu hal yang baru sedikit disentuh orang: budaya permisif.

Bangsa besar bernama Indonesia ini sangat permisif, sebuah sifat budaya yang mentolerir semua hal. Sangat mungkin budaya permisif ini berangkat dari sikap menjaga harmoni. Saya tidak mau bicara panjang lebar soal harmoni. Yang jelas memang sikap menjaga harmoni sangat diperlukan dalam masyarakat muliti-plural seperti bangsa Indonesia. Danharus diakui kita sudah lumayan berhasil dalam hal ini. Kita bisa membandingkan diri dengan bangsa-bangsa lain di mana kita sudah lebih baik dalam hal ini, misalnya dengan bangsa India, bangsa Irlandia, bangsa Myanmar, bangsa Kanada, bangsa Spanyol, bangsa Somalia, bangsa Irak, dan bangsa lain yang masih terjebak di persoalan pluralisme.

Namun budaya permisif seyogyanya tidak mentolerir atas pelanggaran hukum yang secara riil telah diundangkan sebagai hukum dan peraturan perundangan yang berlaku. Toleransi atas pelanggaran terhadap UU dan Peraturan perundangan lainnya inilah yang menjadi cikalbakal permasalahan seperti yang terjadi di Kampung Pulo hari Kamis dan Jumat, 20-21 Agustus 2015.

Kampung Pulo sendiri sudah ada sejak sekitar abad 18, namun bukan wilayah di DAS Sungai Ciliwung. Penduduk awal Kampung Pulo memperoleh hak verponding dari pemerintah kolonial Belanda untuk menempati wilayah Kampung Pulo, di bagian yang lebih tinggi daripada DAS.

Permasalahan penggusuran 20-21 Agustus lalu itu berawal dari pendudukan tanah DAS (Daerah Aliran Sungai). Para pendatang dari berbagai wilayah mulai menduduki DAS konon sejak akhir dasawarsa 1940an atau awal 1950an. Mereka adalah para pendatang yang mencari kehidupan di Jakarta yang mulai tenang setelah pengakuan kedaualatan RI dari Belanda bulan Desember 1949.

Konon mereka demikian saja datang dan membangun rumah-rumah kayu liar di tepian sungai, dengan kakus cemplung langsung ke aliran air. Kemudian para "penguasa" lahan di wilayah Kampung Pulo mendatangi mereka dan sangat mungkin mereka mengaku DAS adalah wilayah "kekuasaan" mereka. Terjadilah transaksi jual-beli yang hanya dilengkapi dengan selembar kertas bermeterai, dengan catatan di sebuah adendum yang mengatakan "di atas tanah negara". Para pemukim di DAS sampai sekarang merasa yakin bahwa secarik kertas bermeterai itu sah sebagai bukti kepemilikan tanah atau paling tidak hak menempati yang bisa menjadi alat bukti untuk memperoleh ganti rugi. Maklumlah, sebagian terbesar dari mereka, mohon maaf, berpendidikan rendah.

Membuat situasi runyam adalah pihak pemerintah tidak melakukan tindakan apa pun atas tindakan penjarahan tanah yang semakin hari semakin berjamaah itu. Tidak jelas apa penyebab utamanya, tapi sangat patut diduga karena jual-beli lahan milik negara semacam itu justru dilakukan oleh oknum-oknum dari berbagai instansi pemerintah. Paling tidak pada tahun 1997 saya pernah ditawari tanah irigasi di sekitar Pondok Ungu, Bekasi (Barat atau Utara?) oleh "agen penjualan" dari seorang pejabat instansi pengairan. Relatif murah dan sangat menggoda untuk membeli. Berdasarkan perhitungan saya waktu itu, sebidang tanah itu bisa saya buat rumah petak dengan enam pintu, disewakan, dan dalam tempo lima tahun uang investasi "pembelian" tanah dan pembangunan rumah petak sudah kembali. Di sebagian besar penggalan aliran saluran irigasi tersebut telah berderet ratusan rumah permanen.

Begitulah, ketika penjarahan tanah berjamaah sudah berlangsung selama puluhan tahun dan dibiarkan tanpa tindakan hukum, maka itu dianggap lumrah. Alasan resmi yang dikeluarkan macam-macam mulai dari rasa kemanusiaan sampai ketiadaan dana daerah untuk menertibkan mereka. Kejadian seperti di Kampung Pulo terjadi di hampir setiap kota besar di Indonesia. Bahkan penjarahan tersebut juga dilakukan secara resmi, dilindungi UU atau Perda atau apa pun bentuk payung hukumnya. Kasus alih fungsi daerah tangkapan air seperti Kapuk menjadi wilayah perumahan mewah adalah contoh mencolok atas penjarahan fungsi lahan dengan dukungan hukum yang kuat. Lebih gila lagi adalah kasus reklamasi Teluk Benoa di Bali yang menghebohkan, karena diberi payung hukum berupa Perpres yang dikeluarkan Presiden SBY. Sebetulnya kasus Kampung Pulo, kasus PIK, dan kasus reklamasi Teluk Benoa secara substansial sama: pengalihan fungsi secara paksa dan melanggar hukum atas lahan, bisa tanah bisa laut, bisa DAS, bisa danau. Hanya saja beda pelaku sehingga beda nasib mereka.

Dalam konteks lain bisa disebutkan dalam budaya permisifisme ini adalah kasus pelangaran atas UU 22/2009 Tentang Lantas dan Angkutan Jalan yang dipicu oleh ulah para bikers di hajatan Jogja Bikers Festival (JBF) 15-17 Agustus lalu. Kasus pelanggaran hukum tersebut "sukses" terjadi karena didukung oleh aparat hukum, dalam hal ini Polri dan juga TNI (karena terlihat mobil Patwal POM TNI ikut mengawal). Kasus pelanggaran hukum itu dibela oleh Polri dari tingkat bawah di lapangan sampai tingkat Kapolri. Antiklimaksnya adalah ketika pihak Istana menyatakan bahwa langkah Polri adalah sebentuk pelanggaran hukum. Tidak jelas apa tindaklanjut dari aksi pelanggaran hukum ini, apakah akan diproses? 

Kasus JBF bisa terjadi karena sudah menjadi kebiasaan Polri dalam memberi pengawalan kepada pihak yang tidak berhak (bukan yang berhak melakukan tindakan segera sehingga diutamakan di jalan raya), memperlakukan mereka seolah boleh melanggar semua rambu2 dan peraturan lantas jalan. Kebiasaan itu terjadi diduga karena dilatarbelakangi oleh aspek ekonomis, walau Polri mengatakan setiap anggota masyarakat bisa meminta pengawalan Polri gratis. Paling tidak seorang penggemar moge muda dan masih berstatus new comer Karra Setyawardhani mengaku di laman FBnya bahwa bikers harus membayar Rp 600ribu per moge jika ingin memperoleh pengawalan Polri.

Karena demikian banyak kepentingan yang terlibat di dalamnya, maka sangat dimaklumi jika pihak yang berani meluruskan dan menegakkan hukum seperti Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama/Ahok akan mendapat perlawanan dari mereka yang dirugikan karena praktik pelanggaran hukum. Contoh lain adalah pelemahan KPK baik yang dilakukan secara kasar seperti kasus Antasari Azhar, Bambang Widjojanto, Abraham Samad, sampai statemen2 "nggege mangsa" (mendahului waktu tepatnya) seperti pidato Megawati belum lama ini walau secara verbal apa yang dia katakan benar, adalah contoh kasat mata, betapa penegakan hukum atas pelanggaran yang sudah menjadi budaya akan sulit dilakukan dan mendapat perlawanan hebat dari berbagai pihak yang memperoleh keuntungan dari pelanggaran hukum itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline