Bully dan bullying adalah hal yang sudah umum didengar. Bullying tidak hanya terjadi antara senior dengan juniornya, bullying juga bisa terjadi antara teman seangkatan. Berita-berita tentang bullying sering melintas di telinga saya sampai-sampai saya tidak bisa mengingatnya satu per satu. Hal ini pun membuat saya muak.
Dalam masa pendidikan saya (SD-SMA), bullying bukanlah pemandangan yang baru. Semasa saya duduk di bangku sekolah, sering saya melihat teman seangkatan yang dikerjai, junior yang dipanggil ke lokasi tersembunyi untuk diperlakukan semena-mena, serta teman seangkatan yang kemudian menjadi salah satu bully dengan alasan 'ritual sekolah'.
Selama itu juga saya mempelajari tentang bullying. Mulai dari membaca artikel-artikel tentang bullying (termasuk artikel feminisme), berita-berita tentang bullying, hingga ke informasi-informasi informal seperti komentar publik. Saya mengamati ciri-ciri korban bullying dan ciri-ciri bully (pelaku).
.
Satu-satunya kemiripan yang ada pada sekian banyak korban adalah diamnya mereka ketika dibully. Kebanyakan anak yang dibully atau dikerjai adalah anak yang diam-diam saja, alias sasaran empuk. Bully lebih tertarik pada anak yang diam-diam saja karena (mungkin) mereka lebih enak untuk dikerjai, mereka tidak akan melapor.. intinya, bully tidak merasakan adanya ancaman ketika melakukan aksinya.
Jarang sekali saya melihat korban bullying yang bukan pendiam alias pemberontak/pelawan. Korban bullying yang saya lihat kebanyakan adalah anak yang diam, yang tidak memiliki banyak teman, pemalu, penyendiri, dan lain sebagainya. Sehingga, saya menyimpulkan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi bullying berada pada korban. Korban sendirilah yang harus mengumpulkan keberanian untuk melawan para bully.
Melawan bukan berarti ikut terjun ke level mereka. Melawan adalah salah satu bentuk pembelaan diri. Perlawanan dari korban sendiri adalah satu-satunya cara yang bisa menghentikan bullying.
.
Saya melakukan riset kecil-kecilan pada diri saya sendiri untuk mengetes kesimpulan saya. Pada satu lingkungan yang sedikit abusive, saya sengaja diam dan membiarkan orang-orang menindas saya. Menindas hingga berakhir pada kekerasa fisik. Lalu di suatu waktu, saya mencoba untuk melawan (satu lawan satu). Memang, sekali melawan tidak langsung membuahkan kemenangan. Melawan membawa saya pada perkelahian dan membuat saya diskors dari sekolah selama 2 hari.
Perlawanan yang saya lakukan tidak membuahkan hasil dalam semalam. Ada beberapa kali saya terlibat di dalam perkelahian sampai akhirnya pelaku tidak berani menindas saya sama sekali. Usaha yang saya lakukan untuk menghentikan penindasan terasa lebih besar karena saya sudah dikenal sebagai 'korban bullying' (kelas 1 SMP dibully teman seangkatan dan senior, kelas 2 SMP berusaha melawan).
Di bangku SMA, hal yang sama mulai terjadi lagi karena memang saya memiliki perbedaan fisik. Saya menerapkan teori yang saya temukan dulu dan melawan pelaku bullying. Hasil yang saya dapatkan lebih cepat dari ketika saya duduk di bangku SMP. Sekali saya melawan, bully tidak berani lagi mengganggu saya. Hingga saya lulus SMA, saya tidak lagi merasakan bullying.