Lihat ke Halaman Asli

Benarkah, Hanya Pengusaha Pelaku Pelanggaran Hak Berserikat?

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Setiap pekerja/buruh berhak untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, yang merupakan hak dasar sesuai dengan Pasal 28E ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Untuk mewujudkan hak dasar tersebut, setiap pekerja/buruh harus diberikan kesempatan yang seluas-luasnya dalam memperjuangkan, melindungi, dan membela kepentingan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya bersama dengan serikat pekerja/serikat buruh2).

Praktek perjuangan serikat pekerja/serikat buruh dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya, ternyata tidak sejalan dengan tujuan dibentuknya serikat pekerja/serikat buruh sebagai alat perjuangan pekerja/buruh dalam mendapatkan jaminan dan perlindungan serta kepastian hukum atas hak-hak normatif yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana jaminan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Tidak sedikit keberadaan serikat pekerja/serikat buruh tumbuh di perusahaan, dari adanya perlakuan pengusaha yang tidak memberikan hak-hak normatif kepada pekerja/buruhnya, seperti penyimpangan atas sistem kerja kontrak, outsourcing, upah murah, jaminan sosial, cuti-cuti, dan lain sebagainya. Padahal merupakan tanggung jawab negara terutama Pemerintah, dalam memberikan pemenuhan hak asasi manusia3), termasuk pula memberikan jaminan pemenuhan terhadap hak pekerja/buruh dengan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk melindungi hak itu.

Ketidak-seriusan Pemerintah dalam mengambil langkah-langkah yang berani untuk menjamin dilaksanakannya hak-hak pekerja/buruh oleh pengusaha, yang telah diatur oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, merupakan bagian dari upaya turut serta melemahkan serikat pekerja/serikat buruh, dengan cara-cara tidak ditindak-lanjutinya pengaduan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh atas dugaan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh pengusaha.

Selain itu, pelimpahan kewenangan urusan ketenagakerjaan kepada pemerintahan daerah (provinsi dan kota/kabupaten) oleh pemerintahan pusat, makin menambah kompleksitas masalah dalam penegakkan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan. Peran pegawai pengawas ketenagakerjaan terus menjadi sorotan khusus para bupati dan walikota, guna menjaga investasi di daerahnya.

Kondisi diatas, setidaknya telah memberikan gambaran kepada kita semua, apakah benar hanya pengusaha yang menjadi satu-satunya pelaku pelanggaran kebebasan hak berserikat?

Pemerintah, Pelaku Pelanggar Hak Berserikat

Jaminan kepada setiap pekerja/buruh atas haknya berserikat pekerja/serikat buruh dalam melaksanakan kegiatannya, merupakan kewenangan pegawai pengawas ketenagakerjaan, dan juga kepada pejabat pegawai negeri sipil di bidang ketenagakerjaan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan penyidikan tindak pidana4) terkait dengan adanya dugaan pelanggaran tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.

Penyelenggaraan pelaksanaan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan, merupakan tugas pegawai pengawas ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan di pemerintahan kota/kabupaten, pemerintahan propinsi dan pemerintahan pusat, yang wewenangnya diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan pengaturan wewenang pegawai pengawas ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan di pemerintahan kota/kabupaten, pemerintahan provinsi dan pemerintahan pusat, diatur dalam UU Pengawasan Perburuhan yang dibuat pada tahun 1948 dan diundangkan pada tahun 1951, sedangkan ketentuan materiil undang-undang ketenagakerjaan sebagai UU yang mengatur tentang hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja telah 2 (dua) kali diubah yaitu pada tahun 1997 dan pada tahun 2003, namun UU Pengawasan Perburuhan tidak mengalami perubahan, sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional pekerja/buruh atas jaminan, perlindungan dan kepastian hukum serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, karena UU Pengawasan Perburuhan tidak lagi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman, sebagai salah satu bentuk penyesuaian terhadap perubahan kondisi yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan ketenagakerjaan dengan dimulainya era reformasi.

UU Pengawasan Perburuhan No. 23 Tahun 1948, merupakan undang-undang yang menjadi dasar Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan pada pemerintahan kota/kabupaten, pemerintahan provinsi dan pemerintahan pusat, untuk menjalankan kewenangannya menjamin pelaksanaan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku oleh pengusaha dan pekerja/buruh serta pemerintah itu sendiri. Sehingga, pelaku hubungan kerja bukan hanya pekerja/buruh dan pengusaha, tetapi juga pemerintah yang berperan melakukan pengawasan terhadap penerapan pelaksanaan ketentuan undang-undang ketenagakerjaan.

Fakta bahwa, pergantian kepala pemerintahan, senyatanya tidak merubah nasib pekerja/buruh, yaitu ketidakpastian pekerjaan, mudahnya pemutusan hubungan kerja, proses penyelesaian perburuhan yang tidak menguntungkan pekerja/buruh, pengebirian kekuatan serikat pekerja/serikat buruh, jaminan perlindungan hukum yang setengah hati, mengabaikan pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan itu sendiri.

Sebelum UU No. 13 tentang Ketenagakerjaan diundangkan pada tahun 2003, syarat-syarat hubungan kerja dan hak serta kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha diatur oleh Undang undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12. Alasan pergantian UU Kerja yang diundangkan pada tahun 1951, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dan dimaksudkan juga untuk menampung perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan bangsa Indonesia dengan dimulainya era reformasi tahun 1998, sehingga oleh karena UU Kerja sebagai hukum materiil dalam hukum perburuhan telah dicabut dan disempurnakan oleh UU Ketenagakerjaan pada tahun 2003, maka seyogyanya pula, UU Pengawasan Perburuhan sebagai UU yang menjadi dasar dan jaminan pelaksanaan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan juga perlu diperbaiki guna memperkuat landasan hukum kewenangan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan pada pemerintahan kota/kabupaten, pemerintahan provinsi dan pemerintahan pusat, untuk menjalankan kewenangannya menjamin pelaksanaan ketentuan undang-undang ketenagakerjaan.

Untuk memastikan hak setiap pekerja/buruh dalam mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum sebagaimana yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, pemerintah membentuk Pegawai Pengawas Perburuhan (sekarang: Ketenagakerjaan) sebagaimana yang dimaksud dalam UU Pengawasan Perburuhan dan UU Ketenagakerjaan yang berada di instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan pada pemerintahan kota/kabupaten, pemerintahan provinsi dan pemerintahan pusat.

Fakta, bahwa sedikitnya lapangan kerja dan semakin banyaknya angkatan kerja, membuat kedudukan pekerja/buruh relatif lebih lemah, ketimbang posisi pengusaha yang dapat menolak pekerja/buruh untuk bekerja di perusahaannya. Kondisi ini mengakibatkan timpangnya daya tawar pekerja/buruh terhadap pengusaha, sehingga banyak pekerja/buruh yang menerima penyimpangan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan yang dilakukan oleh pengusaha, karena takut kehilangan pekerjaan.

Disitulah peran pemerintah yang berfungsi untuk menjamin pelaksanaan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan, sangat dibutuhkan untuk menyeimbangkan kedudukan pekerja/buruh yang timpang dengan kedudukan pengusaha, sehingga diharapkan jaminan dan perlindungan serta kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan yang dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan menjadi efektif.

Faktanya, pegawai pengawas ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan pada pemerintahan kota/kabupaten, pemerintahan provinsi dan pemerintahan pusat, yang kewenangannya diatur oleh UU Pengawasan Perburuhan, yang diharapkan dapat memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum dalam pelaksanaan hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha, selalu beralasan kekurangan personil pegawai pengawas dan benturan dengan otonomi daerah, sehingga tidak dapat berperan maksimal dalam menjamin pelaksanaan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan, yang berakibat pada menjamurnya praktek-praktek penyimpangan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan yang dilakukan oleh pengusaha, sehingga tidak terjamin dan tidak terlindunginya kepastian hukum bagi pekerja/buruh.

Segala penyimpangan dalam UU Ketenagakerjaan oleh pengusaha mempunyai sanksi pidana, yang menjadi kewenangan pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Namun, seringkali laporan-laporan dan pengaduan-pengaduan pekerja/buruh kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana, menjadi tidak tuntas dan pengusaha yang diduga melakukan tindak pidana dapat lepas dari ancaman sanksi dalam UU Ketenagakerjaan, dengan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang melaporkannya, akibat tidak diatur waktu lamanya proses pemeriksaan yang dapat memakan waktu bertahun-tahun seperti yang terjadi di PT. Iwata Indonesia dalam kasus outsourcing dan kontrak yang dilaporkan ke Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bogor pada tanggal 28 Nopember 2005, dan baru pada tanggal 01 Juni 2011 dikeluarkan Penetapan oleh Dinsosnakertrans Kab. Bogor No. 566/3284/Wasnaker/2011, lalu pekerja/buruhnya sebanyak 98 orang di-PHK oleh pengusaha per tanggal 1 Juli 2011, karena menuntut dihapuskannya sistem kerja kontrak dan outsourcing.

Meskipun terdapat sanksi pidana dalam UU Ketenagakerjaan, namun demikian, banyak pengusaha yang tetap dengan sengaja maupun tidak sengaja melakukan penyimpangan penerapan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku. Hal demikian, karena fungsi pegawai pengawas ketenagakerjaan yang tidak maksimal dan pemerintah tidak serius dalam menangani upaya pencegahan penyimpangan penerapan ketentuan undang-undang ketenagakerjaan.

Hal demikian dapat dibuktikan dengan lahirmya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang diundangkan 1 (satu) tahun setelah UU Ketenagakerjaan, yang mengatur tentang tata cara penyelesaian perselisihan yang terjadi antara pekerja/buruh dengan pengusaha, sehingga pemerintah terkesan lebih mementingkan urusan penyelesaian perselisihan yang berawal dari adanya penyimpangan penerapan ketentuan ketenagakerjaan yang dilakukan oleh pengusaha.

Upaya serikat pekerja/serikat buruh dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya dengan mengadukan pelanggaran hak yang dilakukan pengusaha ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (baca : Dinas Tenaga Kerja), seringkali tidak pernah berujung pada dihukumnya pengusaha yang secara nyata-nyata melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan. Selain belum adanya instrument ketentuan peraturan perundang-undangan yang efektif terkait waktu penyelesaian penanganan oleh pegawai pengawas, ternyata keinginan pemerintah (daerah dan pusat) untuk sungguh-sungguh memberikan jaminan perlindungan terhadap pemenuhan hak pekerja/buruh hanyalah lips service semata.

Solusi Alternatif

Ada atau tidaknya unsur kesengajaan atas upaya pemerintah, terkait jaminan pemenuhan hak pekerja/buruh yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yang merupakan hak dasar yang diberikan oleh ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, pekerja/buruh mempunyai hak atas keadilan (acces to justice), sehingga perbuatan pemerintah (baca : Disnaker) yang lalai dan tidak patuh terhadap prosedur penanganan dugaan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku, merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya di bidang hak-hak jaminan kepastian dan persamaan dihadapan hukum, serta sebagai Perbuatan Melawan Hukum5). Sehingga, kemungkinan ditariknya pemerintah sebagai pelaku pelanggar hak kebebasan berserikat, karena lemahnya jaminan perlindungan terhadap pemenuhan hak pekerja/buruh menjadi jalan alternatif6) untuk mendesak penegakkan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan.

_____________

_____________

1) dibuat dalam rangka Acara Semiloka yang diselenggarakan oleh Solidarity Center Indonesia di Hotel Haris Tebet, pada tanggal 30 September 2013.

2) Penjelasan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

3) Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, Pasal 8 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights.

4) Pasal 40 dan Pasal 41 Undang-undang No. 21 Tahun 2000.

5) Perbuatan Melawan Hukum menurut M.A. Moegni Djodjodirdjo di dalam bukunya yang berjudul "Perbuatan Melawan Hukum" adalah kealpaan berbuat, yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar kesusilaan ataupun bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat tentang orang lain atau barang.

6) Perkara Perbuatan Melawan Hukum No. 131/PDT.G/2012/PN.CBn antara Sdr. Nuryono dengan Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bogor, Cs.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline