Punya uang berlimpah, terkenal, kekuatan lobi, partai politik kuat dan dukungan penguasa yang sedang berkuasa adalah sebuah keberuntungan bagi seseorang untuk mencapai impiannya berkarier dalam dunia politik. Secara teoritis tidak ada yang dapat menghentikannya bahkan untuk meneruskan sistem dinasti politik sekalipun.
Faktor lainnya seperti "darah" keluarga penguasa tidak menjamin seseorang sukses mencapai kehormatan tertinggi kecuali pencapaian itu diperoleh dengan cara instan dan output-nya kurang matang karena diproses juga secara instan.
Anak penguasa (non Kerajaan) bisa mengikuti jejak ayahnya terjadi dimana-mana. Indira Gandhi, Benzhir Butho, Megawati dan masih banyak lainnya sukses bukan dengan cara instan tapi tempahan cukup umur dan jam terbang yang "tinggi."
Sebaliknya, Guruh dan Guntur Soekarno Putra, Bambang Soeharto, Sigit Soeharto, Ilham Akbar Habibie adalah contoh sederhana betapa orang tua bukan jaminan anaknya punya bakat ke dunia politik.
Ketika seorang anak dipaksakan meniru jejak ayah terjun ke panggung politik berharap keberuntungan bisa juga hadir pada sang anak yang terjadi adalah sebuah keganjilan atau keprihatinan jika tak pantas disebut kasihan apalagi cuma mengandalkan sejumlah keberuntungan disebutan di atas.
Kasihan karena sosok yang dipaksakan ikut berpolitik itu akan mengalami tekanan batin sangat kuat. Mereka merasa tak percaya diri dengan kemampuan dasarnya. Masyarakat melihatnya tak ubah sebuah lakon bertema "aji mumpung" mengolok-olok dengan berbagai cara dan gaya menambah rasa tak percaya dirinya.
Terkait majunya putra Presiden Jokowi dalam kancah pilkada kota Surakarta (Solo-1) kental sekali aroma aji mumpungnya menyeruak di sana. Tetapi sekali lagi, Gibran Rakabuming Raka (GRR) punya semua keberuntungan disebutkan di atas.
Namun demikian ada yang tidak (kurang) dimiliki Raka yaitu tingkat "Kematangan." Masalah inilah yang bisa bikin GRR gagal booming dalam pilkada Solo-1 tahun 2020 ini.
Tentang ini sangat penting. AHY, Tommy Soeharto telah merasakan pada masanya sendiri sebelumny betapa pentingnya soal kematangan itu.
Hal ini jugalah yang dicetuskan oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagaimana dikutip dari Kompas.com edisi 28/7/2020 di sini. Entah menyentil siapa, ia mengakui untuk menjadi pemimpin itu BUKAN dilahirkan tetapi dibentuk.
Menjadi pemimpin memang harus dibentuk dalam pengertian dibentuk dari bawah dan mengasah kemampuannya tahap demi tahap dan diuji dalam beberapa kali ujian secara sistematis dan berkesinambungan. Jadi pengertian dari bawah di sini adalah dalam konteks ujian dan latihan bertahap.