Ekspor sampah (barang bekas, berbahaya dan beracun) telah lama terjadi tapi belum banyak negara yang berani menolaknya sebelum China (Tiongkok) mengambil langkah tegas 2 tahun lalu tatkala mulai berani menerbitkan aturan melarang impor sampah plastik bekas dan sejenis dengannya pada 2017 lalu dan mulai efektif berlaku Januari 2018.
Sejak saat itulah China (Tiongkok) dengan alasan untuk melindungi dan menjaga keseatan warga dan lingkungannya mulai menolak impor sampah bekas dari sejumlah negara maju termasuk AS yang telah membanjiri negara tersebut hampir 25 tahun lamanya.
Ketegasan China 2 tahun terakhir telah diikuti oleh Vietnam, Filipina, Thailand dan Malaysia ramai-ramai menolak impor sampah bukan saja plastik bekas tapi sampah apapun dalam katagori B2 (Bahan Berbahaya dan Beracun).
Malaysia pada 29 Mei 2019 lalu mengembalikan secara tegas 100 ton sampah ke negara pengkespornya (Australia). Dengan sangat geram ia mengatakan Malaysia punya hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan air yang bersih sebagaimana dinikmati oleh negara maju seraya menunjukkan sejumlah botol plastik bekas yang telah berisi dengan belatung. Total sampah plastik yang akan dikembalikan ke negara asalnya mencapai 3000 metrik ton sebagaimana dingkap oleh theguardian.com.
Sebulan kemudian, tepatnya kemarin 9 Juli 2019, kasus impor sampah menarik perhatian publik tatkala Bea Cukai Tanjung Perak Surabaya memulangkan sampah dari Australia sebanyak 8 kontainer seberat 210 ton.
Menurut informasi yang diterima dari cnnindonesia.com, sampah yang dikembalikan itu terdiri dari kertas bekas; botol plastik bekas; bekas kemasan; bekas pembalut wanita; barang elektronik dan kaleng-kaleng bekas. Dalam penjelasannya Bea Cukai mengatakan peristiwa itu membuat pihaknya akan memperketat pengawasan masuknya sampah bekas di masa akan datang.
Kita tentu sudah tahu tentang dampak barang-barang bekas dan berbahaya disebutkan di atas sehingga tak perlu lagi mengurai apa dampaknya terhadap kesehatan dan lingkungan termasuk terhadap air.
Menurut berbagai informasi sampah-sampah yang dikirim dari berbagai negara maju tersebut adalah salah satu dari rangkaian kegiatan perdagangan dunia (Global Waste Trade) untuk didaur ulang di negara penerima (importir).
Meski bermotif keuntungan dari kegiatan ekonomi impor sampah dari luar negara mengalahkan lebih banyak faktor yang merugikan, salah satu yang terpenting adalah rusaknya lingkungan, air dan kesehatan masyarakat sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup Malaysia, Yeo Bee Yin disebutkan di atas.
Dalam kasus di Tanjung Perak, salah satu importirnya jelas disebutkan berinisial PT MDI melalui jasa pengangkutan Shipper Oceanic Multitrading Pty, Ltd melalui pelabuhan Brisbane Australia. Sebagaimana disebutkan di atas salah satu sampah impor yang ditemukan dalam kemasan peti kemas adalah bekas pembalut wanita.
Apakah bekas pembalut wanita bisa didaur ulang?
Semua benda atau barang bekas dapat dihancurkan dan dipisahkan sesuai dengan katagori jenis bahan dasarnya. Misal dari bahan alumanium didaur ulang dan dipisahkan menjadi bahan alumanium. Begitu juga dari bahan besi, plastik, kertas, timah dan lain-lain sesuai dengan jenis bahan dasarnya.