Lihat ke Halaman Asli

Abanggeutanyo

TERVERIFIKASI

“Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Teror Sri Lanka dan Islamphobia

Diperbarui: 24 April 2019   11:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang penyidik tengah memeriksa lokasi ledakan bom di dalam sebuah gereja di Negombo, Sri Lanka, Minggu (21/4/2019). Setidaknya 207 orang tewas dalam serangan bom di Sri Lanka. (REUTERS/STRINGER)

Dalam 1 dekade terakhir nyaris tidak ada serangan teroris di wilayah manapun di Sri Lanka. Sejak perdamaian dicapai dengan kelompok sparatis yang ingin memisahkan diri dari Sri Lanka the Liberation Tigers of Tamil Elam atau The Tamil Tiger (LTTE) kondisi kemanan di Sri Lanka memberikan nuasa sejuk dan damai.

Perang dimulai pada 5 Mei 1976 itu perlu waktu 33 tahun untuk menemukan jalan damai setelah pemimpin LTTE paling karismatik Velupillai Prabhakaran, tewas dalam pertempuran di garis pertahanan terakhir di Mullaitivu sebuah kota kecil di timur laut Sri Lanka. Kematian Prabhakaran praktis menjadi kekalahan LTTE secara simbolis dan seluruh militan bersenjata menyerahkan diri.

Pada 18 Mei 2009 perlawanan LTTE berakhir sudah sekaligus mengakhiri awan kelabu 33 tahun Sri Lanka dilanda perang Saudara yaitu perang minoritas (Tamil) melawan Mayoritas Shinala dan lain-lain.

Tapi apa daya, baru 10 tahun rasanya menghirup udara segar Sri Lanka kembali dihantui awan lembayung dalam bentuk yang baru. Rangkaian bom sistematis terjadi 6 kali di ibukota Kolombo, 1 di Negombo dan 1 lagi di Batticaloa pada 21 April 2019 pagi hari yang baru saja disirami dinginnya hujan.

Curah hujan menyapa bumi Sri Lanka itu tidak mengurangi minat para jemaah Gereja hadir di berbagai gereja di seluruh Sri Lanka. Para jemaat berbondong-bondong menghadiri dan merayakan ibadah paskah sejak pagi hari.  

Dari kamera cctv yang diperoleh THe Guardian, salah satu pengunjung menggunakan ransel masuk ke halaman gereja setelah beberapa kali terlihat mondar-mandir bersama seorang pria yang menunggunya (memberi perintah) di ujung sebuah persimpangan tak jauh dari gereja St Anthony's Shrine. 

Setelah masuk ke dalam halaman pria tersebut tidak menunggu antrian melainkan masuk  begitu saja mendahului orang yang sedang menunggu (tampaknya menunggu missa berikutnya).

Pria tersebut langsung masuk ke dalam ruangan missa di barisan nomor 3 dari depan. Sebelum terdengar ledakan, pria bermaju merah yang berdiri di simpang jalan kelihatan berpindah dari tempatnya menunggu hingga tak terlihat lagi berbelok ke jalan menjauhi arena ledakan (gereja).

Dari posturnya terlihat ke dua pria itu bertubuh atletis, brewokan, mengenakan pakaian jean dan T.Shirt, tampaknya sudah terlatih atau setidaknya mengenal betul lokasi tempat operasi mereka. Pria berbaju merah yang terlihat sibuk memegang Hape terlihat seperti pemberi komando melalui jaringan telepon. Besar kemungkinan ia juga memberi perintah aksi yang sama di sejumlah lokasi lainnya secara hampir bersamaan.

Tidak sampai satu menit setelah pria yang membawa ransel itu masuk ke barisan tempat duduk terjadilah ledakan. Salah satu gereja terkenal dan bersejarah tempat berlangsungnya ibadah Paskah St Anthony's Shrine menjadi saksi kekejaman akibat ulah manusia membunuh umat manusia lain sedang beribadah dengan cara pengecut. 

Bagaikan magnet ledakan di gereja bersejarah tersebut pada saat yang sama disusul dengan bom bunuh diri di Shangri-La Hotel dan gereja St. Sebastian dan Kingsbury Hotel. Empat lokasi pengeboman pada menit yang sama. Lima menit kemudian disusul serangan di Cinnamon Grand Hotel.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline