Ditengah issue target perombakan kabinet kini sedang menghangat sejumlah Menteri atau setingkat Menteri semakin banyak yang disoroti oleh media massa. Diantaranya, Jaksa Agung, Muhammad Prasetyo. Selain disorot rapor kinerjanya sangat rendah, rangking paling buncit dari 77 lembaga yang diterbitkan oleh Yuddy Chrisnandi, Menteri PAN-RB 4 Januari 2016 lalu, Prasetyo juga disorot karena dicurigai mengamankan kasus korupsi dana Bansos Sumatera Utara (Sumut) periode 2011-2013.
Posisi Prasetyo memang tidak nyaman, sebelum ditetapkan sebagai Jaksa Agung RI pada 20 Nopember 2014, mendapat banyak sorotan kontroversi karena penunjukannya oleh presiden Jokowi tidak melibatkan KPK.
Segudang jejak karier di lingkungan Kejaksaan sebelumnya tidak mampu memberi jaminan kualitasnya memimpin lembaga bergengsi tersebut. Tekanan sistematis yang diperagakan sejumlah parpol seakan memperlihatkan sisi buram statusnya sebagai anggota DPR RI dari kendaraan politk Nasdem ketimbang catatan reputasinya di bidang kejaksaan.
Jabatan terakhirnya di Kejaksan adalah Direktur Upaya Hukum Eksekusi dan Eksaminasi Kejaksaan Agung RI (2005 - 2006). Sejak penisun dari Kejaksaan Prasetyo merapat ke percaturan politik partai Nasedem. Sayangnya publik seakan terlupa pada masa lalu karier Prasetyo di Kejassaan dan lebih menyoroti kendaraan politik Nasdem yang ditumpanginya sebagai faktor yang paling menakutkan. Prasetyo dikuatirkan tidak akan mampu memisahkan kepentingan partai dengan kepentingan negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Kepala Kejaksaan RI.
Jika diperhatikan secara mendetail, sesungguhnya Prasetyo sangat serius keluar dari kepentingan poliik Nasdem dalam menjalankan tugasnya meski ia kader Nasdem. Hal itu dapat dilihat dari beberapa fakta dalam proses hukuman terhadap mantan Ketua Dewan Pembina Partai Nasdem Sulteng HB Paliudju dan kader Nasdem lainnya Bupati Sumba Barat Daya, Jubilate Pieter Pandango. Tidak ada pembelaan Prasetyo terhadap kedua pesakitan kader Nasdem tersebut.
Mungkin ada yang menilai kondisi di atas adalah hanya sedikit fakta untuk mengukur kekuatan independensinya sebagai Kejagung dan harusnya mampu memberi kepercayaan publik lebih positif tentang kemampuan indenpensinya lebih besar.
Tapi apa daya, sesuatu yang dikhawatirkan itu pun menjadi nyata ketika nama Prasetyo dituding terkait dengan kasus Korupsi Bansos Sumatera Utara (Sumut) periode 2011-2013. Berawal dari pengakuan salah satu saksi kunci dalam sidang korupsi terhadap Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho telah membuka tabir yang tak terduga sedalam-dalamnya.
Patrice Rio Capella (mantan Sekjen Nasdem) terpidana korupsi Bansos di Provinsi Sumatera Utara dan OC Kaligis tak mampu menahan tangisnya (setidaknya di dalam hati) dijerat hukuman anti korupsi dan gratifikasi. Keikhlasan PRC menerima hukuman menimbulkan tanda tanya besar seakan demi "sesuatu" ia siap menjadi martir untuk kasus tersebut. Sementara OC Kaligis seakan tak menerima hukuman tersebut mengaitkan hukumannya berlatar belakang dendam KPK terhadap dirinya.
Salah satu saksi kunci yakni Franciska (pegawai OC Kaligis) dalam kesaksiannya terhadap tersangka lainnya Evy Susanti -istri Gubernur Sumatera Utara nonaktif Gatot Pujo Nugroho- pada 18 Nopember 2015 lalu mengatakan Jaksa Agung, Muhammad Prasetyo menerima uang 20 ribu USD dari tersangka. (bukan 20 USD-red).
Sementara itu antara KPK dan kejagung beradu kecepatan dan strategi mengungkap kasus bola salju bansos Sumut tersebut sehingga publik menilai ada "udang dibalik batu" di Kejagung dalam kasus Bansos Sumut tersebut.
Ketiga sekuel flashback di atas jelas menempatkan Prasetyo pada posisi yang sulit dalam kasus ini. Namun apakah benar Jaksa Agung terlibat dalam kasus itu, mari kita lihat dari sudut pandang lain yaitu dari rentetan konfrmasi Muhammad Prasetyo yang disampaikan (dikutip) di berbagai media massa atau media online dan elektronik berikut ini :