Kutipan kata dari gambar di atas kurang lebih jika di translasi ke bahasa Indonesia berbunyi “Sekarang saya tahu rahasia membentuk manusia terbaik, yakni dengan tumbuh di alam terbuka, serta makan dan tidur bersama alam.” Ungkapan itu dikeluarkan oleh Walter Whitman atau lebih dikenal luas Walt Whitman Penyair legenda Amerika Serikat berdarah Belanda (1819-1892). Tentu syair yang beliau keluarkan tidaklah sekedar isapan jempol semata, syair ini sebagai bukti nyata dari kata “alam takambang jadi guru” karena di alam semua terlihat lebih natural, jujur, dan di alam pulalah kita akan menemukan wujud nyata seorang manusia.
Dahulu ketika masih bergelut di dunia alam terbuka lebih spesifiknya menjadi pendaki kurun waktu 2001-2011, saya mempunyai kriteria khusus untuk menilai seseorang dan menganggap mereka di dalam kasta pertemanan yang berbeda, bukan untuk memilih-milih seseorang tetapi untuk alasan sederhana siapa teman yang bisa kita percaya dan di ajak berbagi banyak hal. Cara saya waktu itu hanya 1, ya hanya 1 mengajak mereka berkegiatan di alam bebas selama jangka waktu minimal 3 hari. Dalam prosesi tersebut akan terlihat perangai seseorang secara jelas, 1 hari mereka mungkin masih bisa menutupi dirinya dengan kebiasan di kota, tetapi jika 2 atau 3 hari akan terlihat jelas orang seperti apa “dia”. Banyak saya temukan beberapa kali pengalaman di kehidupan keseharian baik tetapi jika sudah di kondisi seperti ini wah beda sekali apatis, sombong, sok tahu, egois, pemarah, tidak sabaran, pasif, dan banyak hal negatif yang beragam lainnya. Akhirnya ketika sampai di bawah wajar atau tidak saya akan memberikan sedikit jarak untuk orang seperti ini, karena dalam kamus pertemanan saya paling anti orang-orang yang memakai topeng.
Sampai saat ini tahun 2011 kegiatan terakhir saya di jalur pendakian, bukan tidak mau mendaki malahan sering rindu teramat sangat. Tetapi ada saja hal yang menjadi halangan untuk kembali menapaki kaki di jalan terjal yang bermakna tersebut, dan memanjakan mata serta tubuh secara keseluruhan dalam hal ini Gunung-gunung di ketinggian 2000 ke atas. Kalau bukit-bukit sesekali masih ada walaupun dalam jangka waktu yang bukan lagi menjadi rutinitas. Semenjak 2013 keinginan mendaki sirna begitu saja, bertepatan dengan pemutaran perdana film 5 cm pada akhir tahun 2012. Bukan saya tidak suka dengan film ini, suka sekali tetapi film ini berdampak kepada pertumbuhan mendaki di Indonesia, banyak orang mengejar puncak dan ingin merasakan nikmatnya bersatu dengan alam raya.
Selain daripada itu jalan cerita 5 cm memang apik tapi tidak di buat dengan sungguh-sungguh sama sekali tak ada totalitas, banyak ke absurdan ketika pendakian di mulai pertama yang paling krusial CELANA JEANS atau berbahan sejenisnya itu jelas-jelas tidak patut terlalu riskan berat dan kasar (bisa melukai) terlebih lagi membatasi ruang gerak penggunanya sayangnya ini menjadi kebiasan yang membuat salah kaprah belajar lah dari jatuhnya Igor Saykoji dalam detik-detik sampai di puncak mahameru, sepatu raline dan pevita lebih baiknya memilih sepatu yang tapaknya mencubit Bumi (terkhusus untuk tekstur Gunung Berapi), adanya tentengan di luar carrier (membatasi ruang gerak dan mempunyai potensi tersangkut dan banyak hal lainnya) usahkan seluruhnya masuk di dalam carrier (padahal di film tersebut carriernya nampaknya kosong-kosong saja), sebagai yang katanya pemula mereka terlalu gegabah untuk tidak beristirahat di ranu kumbolo tapi langsung tancap gas ke kalimati (tanpa memberikan tubuh tenaga lebih sama sekali untuk fit dalam perjalanan selanjutnya), judi yang mempertaruhkan hidup cadangan air 1,5 liter untuk 6 orang pada trekking terberat alias menuju puncak, terlalu beresiko memutuskan tidak memakai masker saat pendakian ke puncak, sebagai leader tentu Fedi Nuril sangat sembrono di film titik-titik pendakian hafal tapi urusan safety personil tidak dipikirkan dengan matang. Jauhilah cara mendaki ala 5 cm, safety procedure itu kewajiban bukan suatu hal yang bisa ditawar sesuka hati.
Jauh berselang dari film itu keamanan pribadi dan kelompok tidak lagi menjadi hal yang sangat utama, ingat mendaki itu bukan hanya sekedar kepuncak tapi turun dengan selamat menjadi kesuksesan pendakian. Hal-hal sepele tapi penting terlewatkan, semakin hari seamkin kesini contohnya celana jeans menjadi celana terfavorit dipakai untuk mendaki, itu jelas-jelas keliru.
Ketabuan mendaki menjadi perlahan meredup, efeknya banyak gunung tercemari. Jujur saja saya salah satu orang yang paling menolak jika di ajak pendakian masal, karena dasarnya saya mendaki untuk mencari sunyi sembari bermuhasabah diri. Walaupun jauh dari film itu di rilis Tahun 2007 ketika saya mengikuti sebuah pelatihan gunung hutan rimba (kegiatan pelatihan survival) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango melalui cerita kedai dari salah seorang teman MAPALA UI mengungkapkan bahwa pada aksi bersih gunung (saya lupa tahun persisnya) kegiatan itu membawa turun kurang lebih 1 ton sampah di sepanjang jalur pendakian Gede Pangrango. Dari obrolan tersebut yang mengerikannya banyak ditemukan titik-titik timbunan di tanah yang dalamnya bisa 10 cm isinya sampah semua. Bisa membayangkan bukan? Pendaki macam apa yang meninggalkan sampah walau sedikit dan akhirnya menjadi bukit ini. Lupakah para penggiat pendakian dengan kalimat "Jangan mengambil apapun selain gambar, jangan meninggalkan apapun selain jejak, jangan membunuh apapun selain waktu."
Mungkin banyak yang berfikir ah 1 sampah tidak apalah, toh Cuma 1. Kalkulasikan jumlah pendaki setiap minggu per orang jika 1 orang berpikiran yang sama apa jadinya? Begitu pula dengan pengkebirian bunga senduro alias anaphalis javanica atau terkenalnya edelweiss. Berpikiran hal yang sama juga, bayangkan berapa putik bunga yang akan pindah tempat habitat? Mengerikan bukan? Bahkan Di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, tumbuhan ini dinyatakan punah. Apa semua tempat seperti Tegal Alun, Surya Kencana, Mandalawangi, Plawangan Sembalun dan tempat lainnya ingin di bikin punah juga? Coba sesekali bayangkan dampaknya bunga abadi akhirnya punah dari habitatnya, menggelikan bukan ? abadi tapi punah.
Belum lagi aksi-aksi kebodohan teramat sangat seperti vandalisme, pembakaran api unggun yang tak di pertanggung jawabkan, memburu flora dan fauna dan hal lainnya yang sangat membuat miris. Kamu ini jangan egois! Bukan Cuma kamu yang ingin menikmati asri dan indahnya gunung! Anak cucu kita masih ada!
Saya lebih memilih jika pendakian terus menjadi suatu hal yang tabu dan perlu berpikir keras untuk melakukan sebuah perjalanan gunung. Jadi sebelum mendaki orang mecari tahu dulu, dari urusan adab, safety, dan hal-hal lainnya tentu setelah dipelajari semua hal-hal bodoh bisa di minimalisir, biasakanlah “cukup dia saja, buka kita!” kalau perlu jika kedapatan tegur dengan baik, kalau tidak bisa tegur dengan keras. Sekali lagi jangan jadi orang apatis dan egois! Anak cucu kita berhak juga melihat keindahan dan keasrian di ketinggian.
Renungkan kalimat ini “rahasia membentuk manusia terbaik”, bukan malah menjadi manusia absurd yang semaunya saja. Lantas apa bedanya dengan pergaulan di kota? Lebih baik tidak usah ke gunung ke mall saja toh adabnya juga tak dijaga sama sekali. Apalagi jika anda menjadi leader utamakan keselamatan team secara keseluruhan bukan hanya mengejar puncak hanya semata untuk eksis ataupun menulis kata-kata di kertas, tidak sama sekali tidak mendaki bukan tentang itu. Mendaki itu bukan gaya, bukan unjuk-unjukan, bukan pula menjadi serampangan apalagi menjadi orang apatis. Jadilah pendaki sesungguhnya bukan hanya menapakkan kaki semata, tetapi tetap menjaganya dengan kondisi seharusnya. Jangan seperti di lagu yang di nyanyikan oleh mbak Rita Ruby Hartland – Pecinta Alam.
Pendaki gunung, sahabat alam sejati
Jaketmu penuh lambang, lambang kegagahan
memploklamirkan dirimu pecinta alam
sementara maknanya belum kau miliki
Lagu sindiran yang amat luar biasa, bagi siapapun yang mendaki hanya sekedar mendaki. Sangat memalukan mengaku sebagai pecinta alam tetapi jauh dari kata itu. Tidak ada yang melarang untuk menikmati alam bebas, tapi tetaplah di jalan seharusnya. Biarkan lah alam seperti itu adanya. Mari berhenti menjadi pendaki kurang pintar, demi satu tujuan yang yang sama yaitu keindahan dan keasrian panorama alam. Ingat kecelakan tertinggi di Gunung karena human error, baru sesudahnya cuaca. Hal terpenting jangan pernah sama sekali meremehkan alam. Semoga kita terhindar dari hal-hal yang membahayakan kenikmatan mendaki. Lestari!