Berkata Tsumamah bin Abdillah bin Anas, bahwa Anas bin Malik selalu berpesan kepada anak-anaknya, "Wahai anak-anakku, ikatlah ilmu ini dengan cara menulisnya."
Penghafal hadist dan ahli ilmu, Imam asy-Sya'bi, seorang ulama dari golongan tabi'in terkemuka, yang hidup di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, mengatakan,"Tulisan adalah pengikat ilmu."
Beliau menegaskan kepada murid-muridnya, "Bila kalian mendengar ilmu dariku maka tulislah, meskipun di dinding."
Saking pentingnya menulis ketika mendengar sebuah ilmu, sampai-sampai diperintahkan menulis di dinding. Tentu saja bila tidak ada media tempat menulis.
Salah seorang sahabat Nabi, Abu Qilabah mengatakan, "Menulis ilmu lebih aku suka daripada akhirnya aku melupakannya."
Karena karakter manusia yang pelupa, maka sebagian ulama tidak menganggap ilmu seseorang, manakala dia tidak menulis. Itu tidak lain karena prinsip kehati-hatian, sebab kemungkinan salahnya yang sangat besar.
Sejak zaman Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, kebiasaan menulis ini telah menjadi aktifitas wajib setiap sahabat yang mendampinginya.
Menurut Ghanim Al Quduri, ada sebanyak 43 sahabat Rasulullah yang tercatat sebagai penulis wahyu, sebagaimana termaktub dalam kitab Rasmul Mushaf Lughawiyah Tarikhiyah.
Dikisahkan, setiap Malaikat Jibril datang mengantarkan wahyu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memanggil para sahabat untuk menuliskannya.
Di antara 43 sahabat penulis wahyu yang terkenal itu di antaranya, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Saad, Hanzhalah ibnu Ar-Rabi' dan lainnya.
Zaid bin Tsabit adalah yang paling banyak menuliskan wahyu. Karena belum ada media tulis berupa kertas kala itu, maka setiap Rasulullah selesai menerima wahyu, beliau selalu memanggil Zaid untuk bersiap-siap menulis wahyu yang turun sambil membawa batu, pelepah kurma dan tulan binatang, sebagai media tempat menulis.