Lihat ke Halaman Asli

Abah Ucup

Seorang pengajar yang menjaga keresahannya

Peristiwa G30S dalam Kacamata Pendidikan Sejarah

Diperbarui: 1 Oktober 2024   00:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Adalah benar adanya jika pada tanggal 30 September sampai dengan dini hari, 1 Oktober 1965 terjadi penculikan disertai pembunuhan terhadap 6 Jenderal Angkaran Darat dan 1 periwira polisi. Peristiwa tersebut kemudian dikenal dengan beberapa istilah, seperti Gestapu (Gerakan Tiga Puluh), Gestok (Gerakan 1 Oktober), dan G30S/PKI. Istilah terakhir adalah istilah yang diresmikan dan dituliskan dalam catatan sejarah resmi negara, serta digunakan dalam berbagai peringatan kenegaraan. Meski kemudian, setelah tumbangnya orde baru, secara tidak resmi, penyematan kata "PKI" mulai banyak ditanggalkan dengan berbagai alasan. Dalam catatan ini pun, penulis akan menggunakan istilah G30S. 

Selain memiliki beragam nama atau istilah, peristwa G30S juga memiliki beragam versi. Dalam buku "Palu Arit di Ladang Tebu" karya Hermawan Sulistyo setidaknya terdapat 5 versi yang mencoba menjelaskan "dalang" peristiwa G30S, baik secara kronologis maupun analitis. Kelima versi tersebut, antara lain versi Angkatan Darat, versi Sukarno, versi Suharto, versi CIA, dan versi PKI. Versi terakhir adalah versi yang digunakan oleh pemerintah dan tercatat dalam sejarah resmi kenegaraan sampai dengan saat ini. Pada masa orde baru, hanya ada satu versi mengenai peristiwa G30S, namun ketika orde baru tumbang muncul versi lainnya. Banyak buku-buku sejarah yang dituliskan oleh para sejarawan dan pegiat sejarah pasca reformasi mengenai peristiwa G30S dari sudut pandang yang beragam. 

Dalam kajian kesejarahan, peristiwa G30S masuk ke dalam kajian sejarah kontroversial. Sejarah kontroversial adalah sebuah keniscayaan sejarah yang dialami oleh setiap bangsa. Di dalam buku "Sejarah Kontroversial di Indonesia; Perspektif Pendidikan" yang ditulis oleh Tsabit Azinar Ahmad, sejarah kontroversial senantiasa muncul akibat beberapa pandangan tentang suatu peristiwa di kalangan sejarawan atau masyarakat yang dilandasi perbedaan perolehan sumber sampai dengan masalah interpretasi yang berbeda (Ahmad, 2016). Curaming (2006) dalam Ahmad (2016) menjelaskan, jika historiografi Indonesia yang berkembang setelah reformasi sebagai mencoba untuk mempertanyakan versi masa lampau sejarah Indonesia dan menguji kerangka yang sudah lama mapan.

Oleh karena itu, sebagai sebuah fakta sejarah, adanya peristiwa G30S tidak lagi perlu diragukan. Akan tetapi sikap mengkritisi atas fakta sejarah terhadap peristiwa G30S tetap diperbolehkan. Sikap kritis tersebut muncul akibat terdapatnya banyak 'celah' dalam narasi peristiwa G30S yang disajikan oleh pemerintah, khususnya orde baru. Banyaknya 'bukti' lain yang ditemukan oleh para sejarawan yang mengkaji peristiwa G30S semakin memperkuat keraguan terhadap narasi sejarah official yang disajikan. Banyaknya buku yang diterbitkan dengan tema peristiwa G30S dari berbagai sudut pandang adalah bukti konkret keraguan atas narasi sejarah official. 

Akan tetapi perdebatan atas muatan atau isi dalam narasi mengenai peristiwa G30S adalah ranah milik para sejarawan. Dan bukan merupakan ranah bagi para civitas akademika pendidikan sejarah dan juga guru sejarah. Pendidikan sejarah bukanlah ilmu sejarah. Pendidikan sejarah merupakan upaya untuk mewarisi ingatan, keterampilan, kemampuan dan sikap, yang dibalut dalam nilai, norma dan pengetahuan, dari masyarakat masa lalu kepada masyarakat yang hidup di masa kini secara sistematis. Menurut Prof. Hamid Hasan, pendidikan sejarah pendidikan sejarah merupakan media pendidikan yang paling ampuh untuk memperkenalkan kepada peserta didik tentang bangsanya di masa lampau. Mengenai apa dan bila, mengapa, bagaimana, serta akibat apa yang timbul dari jawaban masyarakat bangsa di masa lampau tersebut terhadap tantangan yang mereka hadapi serta dampaknya bagi kehidupan pada masa sesudah peristiwa itu dan masa kini (Hasan, 2010). 

Jadi, bukan tugas civitas akademika pendidikan sejarah dan guru sejarah untuk menjustifikasi apakah suatu peristiwa sejarah benar dan salah secara fakta. Hal tersebut adalah tugas bagi para sejarawan. Tugas civitas akademika pendidikan sejarah dan guru sejarah adalah untuk menjadi jembatan bagi para peserta didik untuk memahami nilai-nilai yang terdapat di dalam suatu peristiwa sejarah. Cartwright (1999) mengatakan bahwa "our personal identity is the most important thing we possess" dan bahwa identitas pribadi atau kelompok tersebut adalah "... defines who and what we are. The way we feel about ourselves, the way we express ourselves and the way other people see us are all vital elements in the composition of our individual personality". Menjadi penting bagi kita untuk mengetahui identitas kita, baik secara individu maupun kelompok, dan bagaimana orang yang berada di luar kita, menilai diri kita.

Lantas nilai apa yang dimaksud untuk diwariskan kepada para peserta didik dalam pendidikan sejarah? Dapat dikatakan jika nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan peserta didik saat ini, dan keberlangsungan kehidupan peserta didik serta bangsa di masa depan. Nilai-nilai tersebut antara lain, kemanusiaan, peduli, mandiri, nasionalisme, adaptif, gotong-royong, religius, dan sebagainya. Kembali kepada peristiwa G30S, jika ditinjau melalui kacamata pendidikan sejarah, maka bukan pada menitikberatkan atas mengapa dan bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi, melainkan nilai-nilai apakah yang dapat diambil dari peristiwa G30S, yang dapat diaplikasikan oleh kita yang hidup disaat ini dan masa yang akan datang. Jika di masa depan, kembali terjadi peristiwa serupa, maka dapat dikatakan suatu kegagalan atas pendidikan sejarah.

Kebenaran atas terjadinya peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal dan perwira polisi memang benar adanya, berbagai istilah yang muncul untuk melabeli peristiwa tersebut juga adalah sebuah fakta, dan berbagai versi atas kebenaran di balik peristiwa tersebut merupakan hasil dari proses konstruksi sejarah yang harus diyakini sebagai produk ilmiah, terlepas yang mana yang benar. Bukan lah ranah pendidikan sejarah untuk menentukan siapa yang bersalah dan tidak bersalah atas peristiwa itu. Dalam kacamata pendidikan sejarah, suatu peristiwa sejarah tidak hanya hitam dan putih. Peristiwa sejarah dalam kacamata pendidikan sejarah merupakan pelajaran yang memiliki nilai-nilai, baik itu nilai kebenaran atau kesalahan yang harus dipelajari oleh generasi saat ini. Tugas dari pendidik sejarah adalah menanamkan pada generasi saat ini seluruh nilai tersebut, agar di kemudian hari peristiwa serupa tidak terulang kembali. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline