Menjelang bulan puasa harga beras masih di atas rata-rata. Rakyat tentu saja semakin cemas dengan kondisi seperti ini. Apalagi biasanya kenaikan harga akan disusul oleh komoditi kebutuhan pokok lainnya, seperti minyak yang kini harganya tidak bisa kembali seperti sedia kala. Jika sudah begini, mau tidak mau rakyat harus siap berebut pada setiap operasi pasar yang digelar. Atau paling tidak mereka harus melakukan re-counting atas pendapatan yang mereka peroleh dengan pengeluaran. Sayangnya kenaikan harga tidak dibarengin dengan kenaikan upah yang signifikan.
Meski kondisi objektif menggambarkan situasi tidak baik-baik saja, pemerintah tidak sepenuhnya mau dipersalahkan. Beberapa hal dijadikan kambing hitam atas kenaikan harga beras. Misalnya narasi El Nino dan El Nina yang konon mengganggu musim dan berpengaruh bagi para petani sering sekali dilontarkan. Padahal sejak roda revolusi industri berputar semakin kencang, perubah iklim, isu dan dampaknya terhadap kehidupan manusia telah menjadi perhatian dunia. Dengan dijadikan El Nina dan El Nino dijadikan alasan sebenarnya menunjukan betapa lemahnya Indonesia dalam merespon isu perubah iklim global. Indonesia malah sebaliknya, melakukan deforestasi melalui beberapa Proyek Strategis Nasional (PSN).
Mengenai harga beras, beberapa waktu lalu presiden mengatakan jika harga telah berangsur turun. Terjadi trend penurunan harga dimana-mana. Akan tetapi kenyataannya harga beras masih belum kembali normal. Dikatakan juga, jika pasar telah dibanjiri oleh beras bulog. Bahkan menteri perdagangan menghimbau agar rakyat mengkonsumsi beras bulog. Mengapa terjadi kesimpang-siuran? Kondisi ini lantas menimbulkan berbagai spekulasi atas kenaikan beras dan bahan pokok. Apalagi kondisi ini terjadi berbarengan dengan pemilu yang baru selesai. Apakah ini berhubungan dengan upaya untuk meredam ketidakpuasan atas hasil pemilu dan indikasi kecurangan yang meliputinya?
Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok dalam Kacamata Sejarah
Setelah peristiwa G30S pada 1965 rakyat yang tidak puas selama periode demokrasi terpimpin mulai turun ke jalan. Mereka menuntut dilakukannya reformasi pemerintahan, yaitu kembali ke UUD 1945, bubarkan dan bersihkan pemerintahan dari PKI, serta evaluasi kepemimpinan Presiden Soekarno. Tidak lama terjadi kenaikan beberapa kebutuhan pokok, seperti minyak tanah dan BBM. Kenaikan harga pokok dikatakan sebagai dampak inflasi Indonesia yang terus meroket, bahkan sampai angka 200%.
Pada 1996 krisis ekonomi menghantam Asia Tenggara. Pada 1998 Indonesia akhirnya terdampak oleh krisis ekonomi tersebut. Indonesia yang digadang-gadang sebagai macan asia baru karena ekonomi yang bertumbuh secara meroket, ternyata tidak mampu bertahan terhadap badai krisis ekonomi yang melanda. Situasi yang kacau di bidang ekonomi merembet ke persoalan politik. Suara sumbang yang mengarah kepada pemerintahan orde baru mulai ramai digaungkan. Aksi protes mulai dilakukan secara terang-terangan. Rakyat mulai bersikap tidak setuju secara terang-terangan dengan pemerintah.
Secara subversif pemerintah mencegah kekecewaan rakyat dengan tangan besi. Bagi para kaum protes, penculikan disertai penghilangan menjadi momok yang menakutkan. Di sisi lain, terlepas dari pengaruh krisis ekonomi harga bahan pokok dan bahan bakar naik secara signifikan yang bahkan tidak pernah terjadi selama masa pemerintahan orde baru. Rakyat dibuat bingung dengan kondisi demikian. Sampai terjadinya reformasi harga tidak pernah kembali seperti sedia kala.
Pada 2024 Indonesia melaksanakan pesta demokrasi lima tahunan. Seharusnya hajat ini tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Akan tetapi terdapat perbedaan signifikan. Dimana hajat lima tahunan 2024 ini diliputi dengan berbagai kontroversi dan indikasi kecurangan. Pemilu akhirnya usai, akan tetapi indikasi kecurangan terdengar kencang. Akan tetapi tidak seperti tahun 2019 silam yang tidak adanya kenaikan harga apapun, meskipun aksi protes berlangsung atas hasil pemilu yang memenangkan incumben secara telak.
Entah kenapa kenaikan harga kebutuhan pokok sering terjadi berbarengan dengan kekacauan situasi politik dalam perjalanan sejarah. Kenaikan harga bahan pokok yang dibarengi dengan situasi politik tentu akan membuat orang berspekulasi. Salah satunya adalah jika kenaikan harga ini hadir untuk mendistorsi rakyat. Rakyat yang lapar dan cemas, dan didominasi oleh kelas menengah tidak akan memikirkan tentang situasi yang tidak menyangkut hajat hidupnya langsung. Mereka yang secara ekonomi rentan lebih memilih untuk memikirkan hidupnya dan mencari keselamatan sendiri-sendiri.
Jika melihat pola sejarah, situasi akan kembali normal ketika situasi politik mulai mereda. Ketika kekuasaan telah kembali dapat dikondisikan. Sebagaimana yang terjadi pada masa awal reformasi, dimana situasi mulai mereda pada 2003, ketika gelombang demonstrasi berangsur mereda dan kemudian menghilang. Dan untuk saat ini, semua itu akan terjadi pada akhir tahun 2024 ini. Sampai saat itu terjadi, rakyat banyak akan berada pada posisi sulit atau setidaknya mengambang. Tidak akan ada yang dapat mengubah hal tersebut. Bahkan suara kaum terdidik juga tidak akan dapat mengubah situasi.
Meskipun perubahan iklim global sangat mempengaruhi hasil pertanian dan secara otomatis membuat harga beras menjadi melambung. Terjadinya yang berbarengan dengan usainya pesta demokrasi tentu saja membuat spekulasi liar atasnya tidak dapat dihindari. Apalagi pada triwulan tahun yang lalu pemerintah pernah mengumumkan jika stok beras aman-aman saja. Dan terakhir tidak seperti minyak goreng yang naik akibat efek dari konflik yang terjadi antara ukrein dengan ruski. Terlepas dari spekulasi semua atas kenaikan harga beras, semoga dapat kembali normal seperti sedia kala. Meskipun rakyat juga sudah paham, sebagaimana minyak goreng, penurunan harga tidak lah mungkin.