Lihat ke Halaman Asli

Abah Ucup

Seorang pengajar yang menjaga keresahannya

Menjelang Berlangsungnya "Pesta" Demokrasi (Sebuah Opini)

Diperbarui: 3 Februari 2024   09:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari pemilihan umum semakin dekat. Kampanye semakin masif dilaksanakan. Para kontestan melakukan berbagai cara untuk meraup sebanyak mungkin suara. Bahkan tidak jarang jika cara-cara yang dipilih bukan lah cara yang benar. Sebab kebanyakan dari mereka tidak pernah peduli soal kebenaran, apalagi etika. Etika dan idealisme tidak akan membuat mereka berkuasa. Dan tentu saja tidak membuat perut kenyang, juga tak akan menambah pundi-pundi kekayaan. Parahnya elit seperti memberi contoh buruk yang nyata bagaimana seharusnya berpolitik. Penulis tak perlu menjabarkan contoh yang dimaksud. Semua pembaca pasti sudah tahu.

Belum lama para akademisi akhirnya ikut bersuara. Mereka para civitas akademik dari berbagai kampus besar dan kecil mulai mempertanyakan masa depan praktik demokrasi negeri ini. Terlepas terlambat atau tidak bagi penulis, setidaknya para akademisi sudah melaksanakan etika seorang akademisi, yakni berpihak kepada kemanusiaan.

Akan tetapi apakah rakyat negeri ini yang sebagian adalah kaum papa yang lapar dan kurang memahami atas demokrasi, serta variabel kemanusiaan itu akan paham maksud dari para akademisi dan aktivis pro demokrasi mengenai apa yang mereka perjuangkan? Apakah rasa lapar akan dapat mengalahkan akal sehat?
Di seberang lautan, di sebuah negara yang masih dalam satu kawasan dengan negara kita sedang mengalami perpecahan elit politik. Negara itu adalah Filipina. Negara yang belum lama ini telah usai melaksanakan pesta demokrasi pemilihan presidennya. Hari ini publik Asean dan internasional dikejutkan jika terjadi pertikaian antara presiden dengan wakil presidennya. Mereka saling serang tanpa pernah memikirkan jika sebelumnya mereka berkawan. Parahnya mereka tidak peduli pada rakyat yang telah mati-matian membantu mereka duduk di kursi kekuasaan.

Rakyat Filipina dan Indonesia nampaknya memiliki beberapa persamaan, seperti mayoritas berada di kelas menengah ke bawah secara ekonomi; berpendidikan rendah dan ; belum lama merasakan demokrasi, sehingga kedewasaan demokrasinya belum matang. Sistem demokrasi yang dilaksanakan di sebuah negara yang memiliki ciri tersebut hanya akan menghasilkan kediktatoran mayoritas. Dimana dalam kondisi tersebut kelompok yang lebih memahami situasi biasanya berada di kelompok minoritas, dan kelompok yang tidak memahami, bahkan cenderung buta berada di kelompok mayoritas.

Kondisi ini tentu tidak lah baik. Hal ini disebabkan sistem demokrasi kita hanya dipandang sebagai sebuah sistem elektoral, maka bagi mereka yang berada di kelompok minoritas, meski benar tidak akan dapat mengubah apapun. Singkatnya mayoritas akan selalu menang meskipun salah. Sebenarnya hal demikian tidak akan terjadi, sebab secara teori dan konstitusi kita bukan penganut demokrasi liberal, melainkan yang berlandaskan kepada musyawarah yang mufakat. Akan tetapi sayangnya semua itu tak pernah diwujudkan sebenar-benarnya.

Di dasar ini semua siapa kah yang paling diuntungkan? Dan siapakah yang paling dirugikan?

Yang akan paling diuntungkan akan situasi seperti ini jelas mereka yang memiliki kepentingan. Siapakah mereka itu? Mereka semua adalah para elit politik. Tidak peduli dalam kontestasi ini mereka ada di pihak yang mana, akan tetapi mereka lah yang paling diuntungkan. Meskipun mereka saling berperang satu sama lain, akan tetapi perang itu bukan dimaksudkan untuk kepentingan rakyat kecil, rakyat mayoritas, melainkan ambisi kelompok masing-masing. Rakyat dalam sejarah umat manusia hanya merupakan pion, pijakan untuk memanjat ke pucuk kekuasaan.

Dan yang paling dirugikan tentu saja adalah rakyat banyak. Rakyat banyak disini adalah mereka yang miskin, bodoh dan juga lapar. Sejarah politik negara-negara post kolonial selalu menampilkan jika rakyat dalam sistem politik demokrasi yang hanya elektoral tidak lain dan bukan hanya dijadikan sebagai sapi perah, yang diperas habis-habisan untuk bekerja dan kemudian digiring ke pajagalan saat musim kontestasi politik. Mereka yang jauh dari kesadaran dirinya sendiri, apalagi politik adalah sasaran empuk bagi para elit politik yang ingin menginjak kepala mereka guna naik ke atas dan duduk di bangku kekuasaan.

Pada akhirnya siapa pun yang akan menang dalam kontestasi ini tidak akan memberikan dampak signifikan bagi rakyat yang notaben tidak memiliki kepentingan atas itu semua. Berbeda dengan kelas menengah atau para akademisi yang bersuara atas hal-hal yang dianggap penting, semisal etik. Suara rakyat kebanyakan bagai pohon bambu yang meliuk tergantung pada angin.

Jadi seharusnya di tengah situasi kontestasi seperti ini, bagi kita semua rakyat banyak jangan lah sampai akal sehat, moral, budi pekerti, nurani yang kita miliki tergadaikan. Sebab semua itu lah yang membuat kita untuk tidak menjadi sapi perah politik. Jika istilah politik Vox Populi Vox Dei itu benar, maka seharusnya kita serahkan kepada Dei yang sebenarnya, Allah SWT, Tuhan YME, serta akal sehat yang kita miliki sebagai manusia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline