Membaca berita KOMPAS.com berjudul : Pius, Dengkul Harry van Jogja dan Volunterisme tentang komentar Pius Lustrilanang, timses pemenangan Prabowo – Hatta terhadap relawan Jokowi – JK bernama Harry van Jogja yang mengadakan aksi goes becak dari Jogja ke Jakarta sebagai bentuk dukungan kepada pasangan Jokowi – JK.
“"Masyarakat sudah tidak mau keluar uang, yang ada adalah transaksi. Wani piro. Jika Anda ingin menggerakan mesin, Anda harus punya oli, Anda harus punya bensin. Saya tidak percaya adanya volunterisme."Demikian yang dikatakan Pius mengomentari aksi goes becak Jogja-Jakarta yang dilakukan Harry van Jogja.
Pius Lustrilanang, seorang aktivis ’98 yang pernah diculik oleh Tim Mawar suruhan Prabowo saat menjabat Danjen Kopassus, kini Pius bergabung dengan mantan penculiknya dalam wadah Partai Gerindra.
Banyak orang bertanya-tanya, apa sebab Pius dan beberapa orang yang pernah diculik Prabowo, diantaranya Desmon J Mahesa dan Haryanto Taslam, bergabung dengan Prabowo? Sehingga membuahkan persepsi umum bahwa setidaknya telah terjadi rekonsiliasi antara pihak penculik dan yang diculik, serta yang lebih penting adalah, sang penculik telah bertobat dan ingin menjadi baik, atau bahkan sang penculik tidak bersalah karena penculikan itu sebagai tugas negara yang diperintahkan atasan.
Melihat faktor-faktor berikut :
Pertama : Pada Debat Capres-Cawapres I yang diadakan KPU, ketika Cawapres Nomor urut 2 (Jusuf Kalla) bertanya tentang pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo, setengah emosional dan ngawur (karena menyebut bom padahal tahun ’98 padahal yang diculik adalah aktivis bukan teroris yang merakit dan berencana meledakkan bom) Prabowo menjawab bahwa hal pelanggaran HAM dituduhkan kepadanya (penculikan) adalah tugasnya mengamankan Negara dari setiap potensi gangguan, sedangkan benar atau tidaknya tindakan itu terserah kepada penilaian atasan.
Kedua : Munculnya Surat rekomendasi DKP atas hasil pemeriksaan Prabowo, yang kemudian telah diklarifikasi oleh para mantan Jenderal yang pernah memeriksa Prabowo dan tercantum dalam surat DKP tersebut ikut menandatanganinya bahwa isi dan Surat DKP yang beredar tersebut benar dan “shahih” adanya.
Ketiga : Pernyatan Wiranto mengenai tindakan Prabowo menculik aktivis adalah bukan perintah atasan, melainkan inisiatif sendiri.
Dari semua faktor di atas yang mengindikasikan keterlibatan Prabowo dalam kasus penculikan, tetapi Prabowo tidak pernah mau mengakui hal itu sebagai suatu kesalahan pribadinya, melainkan membela diri dengan alasan tugas mengamankan negara.
Untuk lebih memunculkan citra bersih diri dan ketidakbersalahannya, maka Prabowo mengajak dan membujuk orang-orang yang pernah dizalimi olehnya dulu, seperti Pius, dll. (baca : Keluarga Korban Penculikan Dibujuk Timses Gerindra), agar publik menilai Prabowo justru sebagai korban yang ditumbalkan oleh atasan, sehingga tidak mengganggu prospek yang ingin diraih dan diidam-idamkannya sejak kecil, yakni menjadi Presiden RI.
Atas semua fakta-fakta tersebut, tidaklah salah kiranya jika saya menyebut komentar Pius terhadap aksi Harry van Jogja, telah membuka tabir tanda tanya publik selama ini tentang alasan apa yang menyebabkan Pius beserta orang lain yang pernah diculik Prabowo, kini malah mendukung Prabowo. Mengenai “politik transaksi” dan “wani piro” yang dituduhkan Pius terhadap Harry van Jogja, sejatinya telah membuka tabir bahwa sebenarnya antara Pius dan Prabowo bisa berkumpul dan bekerjasama atas dasar “politik transaksi” dan ‘wani piro”.
Seseorang cenderung membaca dan mengidentifikasi orang lain selayaknya dirinya sendiri. Maka ketika Pius membaca aksi Harry van Jogja dan juga aksi-aksi relawan serta pendukung Jokowi yang memberikan dukungan keikhlasan dengan segala cara, bahkan pemulung pun menyumbangkan uang pada rekening kampanye Jokowi-JK, itu semua dibaca oleh Pius sebagai bentuk rekayasa politik, seperti juga yang terjadi pada dirinya yakni bergabungnya ia (Pius) ke dalam kubu Prabowo karena politik transaksi dan wani piro.
Pius, oleh karena politik transaksi dan wani piro yang kini dijalaninya, telah membutakan mata hati dan memandulkan insting politik kerakyatannya, sehingga meremehkan gerakan rakyat kecil yang sukarela mendukung dengan berbagai gaya dan cara terhadap Capres idolanya, namun oleh Pius semua gerakan rakyat itu dianggap sebagai KEBOHONGAN belaka. Anggapan Pius, bagi rakyat saat ini tidak ada yang gratisan dalam hal dukungan kepada calon pemimpin.
Padahal saya melihat sendiri antusiasme warga masyarakat terhadap Jokowi-Jk itu tulus ikhlas adanya. Bahkan saya sendiri, seorang tua yang terpaksa harus “turun gunung” untuk ikut menyumbang dukungan kepada Jokowi-Jk meski hanya melalui tulisan di Kompasiana ini, bahu membahu dengan kompasianer lain yang kebanyakan masih muda untuk mendukung pasangan Jokowi-JK. Tapi segi positifnya, saya merasa seakan lebih muda 20 bahkan 30 tahun ke belakang.
Salam Dua Jari !!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H