Lihat ke Halaman Asli

Surat GIDI di Tolikara Intoleransi?

Diperbarui: 24 Juli 2015   09:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Surat GIDI (Gereja Injili Di Indonesia) berisi hal pemberitahuan tertanggal 11 Juli 2015 Nomor : 90/SP/GIDI-WT/VII/2015 yang ditujukan kepada ummat Islam se-Kabupaten Tolikara di Karubaga mengandung berbagai pendapat hukum serta konsekwensi hukum. Sebelum terjadi peristiwa pembakaran rumah kios dan masjid Baitul Muttaqin (bukan musholla), sudah beredar pada kalangan ummat Islam di Karubaga-Tolikara dan foto surat inilah yang beredar dibeberapa media mainstream dan medsos lainnya termasuk pada beberapa tulisan di Kompasiana ini tanpa ada rekayasa sedikitpun. Walaupun kebenaran itu telah tersajikan di publik secara meluas, ada saja berbagai kalangan dan pihak yang berupaya untuk menutupinya, mengaburkannya dalam memanipulasi pemberitaan dengan cara mengatakan, bahwa surat GIDI itu palsu, surat GIDI itu tidak melalui mekanisasi struktural keorganisasian dan lain sebagainya. Pokoknya surat asli GIDI di Tolikara yang kontroversial dan intoleransi itu akan direkayasa dan digoreng menjadi surat yang tidak bertuan dan bisa diharapkan paksa menjadi surat yang paling palsu sedunia yang pernah terjadi. Ini adalah cara-cara kotor yang sudah sering terpola budaya pada kelompok tertentu tersebut untuk menutupi berbagai kebusukan serta kesalahan mereka dengan cara apologetika.

Memperhatikan seluruh kalimat dalam surat tersebut, memang akan mengundang berbagai konsekuensi pertanggungan jawab hukum. Surat yang disebar secara resmi oleh GIDI ini, diutamakan ditujukan kepada ummat Islam se-Kabupaten Tolikara di Karubaga, disamping itu telah pula ditembuskan kepada Pemerintah Daerah setempat yaitu Bupati Kabupaten Tolikara, Ketua DPRD Kabupaten Tolikara, Polres Tolikara, Danramil Tolikara. Inilah isi dari surat pemberitahuan GIDI yang Intoleransi adalah : 1) Mereka akan melakukan seminar KKR Pemuda GIDI tingkat Internasional pada tanggal 13-19 Juli 2015. 2) Pimpinan GIDI Wilayah Toli membatalkan dan menunda semua kegiatan yang mengundang ummat besar daritingkat jemaat lokal dan klasis dari berbagai Yayasan atau lembaga-lembaga lain. (Komentar penulis : Ini adalah urusan intern kalangan GIDI sendiri serta PGLII (Persekutuan Gereja-Gereja dan Lembaga-Lembaga Injili Indonesia) dan tidak ada korelasinya dengan ummat beragama lainnya.) Atas dasar butir 2) ini, GIDI memberitahukan bahwa : a. GIDI tidak mengijinkan pelaksanaan acara sholat Idul Fitri 1436 H pada tanggal 17 Juli 2015 diseluruh wilayah Kabupaten Tolikara (Karubaga). b. Ummat Islam boleh melaksanakan Sholat Idul Fitri dan merayakan lebaran diluar Kabupaten Tolikara (Wamena) atau di Jayapura. c. Dilarang kaum muslimat memakai pakaian Jilbab.

Wewenang pelarangan hanya ada pada UU, PP, Kepres, Kepmen, Perpu, Pergub, Perda dan dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yaitu Kepolisian RI dan minimal Pemerintah Daerah. Organisasi agama dan organisasi lainnya, tidak diperkenankan untuk melakukan pelarangan apapun tanpa ada dasar hukumnya. Inilah bentuk intoleransi dan arogansi kelompok yang telah dipamerkan oleh GIDI tanpa memperhatikan ketentuan yang berlaku resmi di NKRI. Pernah ada cuatan yang mengatakan surat GIDI itu telah didasari sebuah Perda dan kenyataannya Menteri Dalam Negeri Cahyo Kumolo menegaskan bahwa Perda yang dimaksud belum sama sekali mendapatkan persetujuan dari Kemendagri artinya Perda tersebut tidak syah diberlakukan di Kabupaten Tolikara. Dalam hal ini, Pemda setempat harus dikenai sanksi atas diberlakukannya secara sepihak Perda yang tidak syah tersebut dan berdampak bagi kerugian HAM dan materi dari sebagian masyarakat tertentu warga Negara Indonesia.

Kasus yang telah terjadi di Karubaga-Tolikara senyatanya dan sebenarnya adalah tidak bisa lepas dari isi surat GIDI tertanggal 11 Juli 2015 Nomor : 90/SP/GIDI-WT/VII/2015 itu dan ini telah dijadikan oleh aparat Kepolisian RI sebagai fakta serta alat bukti hukum. Penyelesaian secara keorganisasian dan sosial kemasyarakatan memang telah selesai dan berjalan dengan rasa persaudaraan yang kental lalu selanjutnya akan berlangsung proses perdamaian secara adat dan semua upaya ini sangat kita hargai. Untuk memperkuat posisi perdamaian yang berjangka panjang, kesalahan atas pelanggaran intoleransi dan kriminalisasi dalam peristiwa pembakaran itu, upaya tuntas penyelesaian hukumnya harus dijalankan oleh para aparat terkait didalam penegakan hukum Indonesia. Apalagi Presiden Jokowi telah mengutuk peristiwa itu dan janji Kepolisian RI untuk menuntaskan tanpa pandang bulu secara hukum yang berlaku atas kasus Karabuga-Tolikara. Kalau semua pihak selalu berteriak “Ini Negara Hukum” maka penyelesaian hukum atas pelanggaran dan kriminalnya harus terpisah dengan upaya perdamaian secara keorganisasian dan sosial kemasyarakatan serta adat. Karena kejahatan Intoleransi dan kriminal pembakaran yang telah berlangsung membekas didalam proses penyelesaian hukumnya hingga tuntas, selanjutnya telah menjadi torehan catatan sejarah kelam bagi keberlangsungan NKRI kedepan.

Memang akhir-akhir ini, setelah adanya upaya perdamaian di di Kecamatan Karubaga Kabupaten Tolikara dan terlihat seperti saling bermaaf-maafan, ada pihak dan kelompok tertentu ingin menutupi kesalahan fatal yang telah mereka lakukan secara kriminal di Karubaga-Tolikara dan ingin disatukan penyelesaian hukumnya dengan perdamaian secara adat. Mereka yang bersalah ingin menyelesaikan masalah non-hukum disatukan dengan masalah hukumnya dan ini jika terjadi adalah merupakan pelanggaran hukum serta pelanggaran keutuhan perdamaian yang sesungguhnya. Apabila hal ini yang terjadi, maka dipastikan peristiwa yang sama dan lebih parah akan terulang terjadi kembali dimasa yang akan datang. Kejujuran dari kelompok pihak yang telah mengakui bersalah untuk menjalani proses hukum, adalah bagian yang sangat melekat erat dengan pola perdamaian jangka panjang yang telah dilakukan serta diharapkan semua pihak. Semua kita warga Indonesia, berhak untuk mengawasi dan memperhatikan secara seksama atas keseriusan penyelesaian hukum kasus Karubaga-Tolikara ini, sekaligus menjadi ukuran penilaian kita semua atas berjalannya penegakan hukum di Indonesia.

Penulis berharap, mari kita berkomitmen untuk selesaikan permasalahan Karubaga-Tolikara dengan penyelesaian secara keorganisasian dan sosial kemasyarakatan dan memang telah selesai serta berjalan dengan rasa persaudaraan yang kental lalu selanjutnya akan berlangsung proses perdamaian secara adat. Kemudian adanya kehendak yang kuat dari pihak yang telah melakukan pelanggaran hukum untuk menyelesaikan pertanggungan jawaban secara hukum sampai ke pengadilan kasus Karubaga-Tolikara, adalah hal yang sangat terkait erat dengan upaya perdamaian permasalahan agama ini yang akan merembet kepada permasalahan sosial kemasyarakatan yang sangat berjangka panjang kedepan. (Abah Pitung)

Ada teroris terkutuk di Karubaga-Tolikara?

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline