Lihat ke Halaman Asli

QC Jadi Andalan

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selama ini kita terlalu percaya kepada Quick Count (QC), bahkan seorang Presiden berani mendasarkan QC untuk mengucapkan selamat kepada pihak yang mendapatkan persentase tertinggi dalam Pemilu yang hanya baru dalam posisi data masuk 75% s/d 80% untuk cara perhitungan QC. Ini sangat konyol dan sangat bodoh serta tidak berdasarkan ketentuan, bagaimana mungkin sample data yang diambil berdasarkan pertanyaan kepada pemilih hanya pada 2000 TPS sampai 4000 TPS atau data QC hanya mengambil sampel 0,0035 %, sedangkan data Real Count 100%, bisa dijadikan patokan kemenangan Pemilu, dalam posisi Lembaga Suvey (LS) memihak dan tidak jujur. Kita semua menerima adanya teknologi dan pengetahuan ilmiah berdasarkan statistik untuk menentukan kemenangan dan keberhasilan asal dijalankan dengan benar dan jujur sesuai methodology ilmiah, tentu akan mendapatkan hasil yang benar dan baik pula. QC dari LS senyatanya tidak bisa dijadikan andalan kemenangan, selama ini kita mendewakan QC yang menipu bahkan terkadang KPU secara Real Count menyesuaikan kepada angka QC. Kejadian 9 Juli 2014, kita di Indonesia kembali kepada Real Count KPU sehingga KPU bisa berwibawa.

Dalam hal Pemilu Capres dan Cawapres 9 Juli 2014 yang lalu, kita saksikan secara nyata keberpihakan para LS tertentu kepada peserta No.2 diantaranya : LSI, SMRC, Indikator Politik, CSIS, Litbang Kompas, PolMark, RRI adalah LS yang sangat berpihak kepada pemenangan Jokowi-Jk No.2. Atas dasar keberpihakan itulah, mau tidak mau Prabowo-Hatta No.1 membuat LS tersendiri, agar data sampling dari berbagai TPS tidak direkayasa dan dimanipulasi. Dampaknya, terjadilah perbedaan hasil dari LS yang masing-masing LS yang berpihak memenangkan masing-masing jagoannya. Akibatnya pihak Jokowi-Jk No.2 menyatakan merekalah sebagai pemenangnya, sebaliknya Prabowo-Hatta juga menyatakan merekalah sebagai pemenangnya juga karena memiliki data pembanding Form C1 dari berbagai wilayah Propinsi. Akhirnya kita semua kembali kepada UU yang berlaku yaitu menunggu Real Count (RC) dari KPU pada tanggal 22 Juli 2014. Untuk Indonesia Lembaga Survey sudah menjadi KARTEL LS dan sangat berbahaya jika kita percaya kepada para LS yang sudah rusak citranya.

Quick Count (QC) oleh pihak Jokowi-Jk sudah dijadikan andalan kemenangan, setelah malam 9 Juli 2014 sampai tanggal 10 Juli 2014 membuat acara yang mendaulat Jokowi seolah-olah sudah menjadi Presiden RI pemenang Pilpres 2014 hanya berdasarkan QC. Padahal merupakan kemenangan secara statistik berdasarkan hitungan QC yang hanya mengandalkan paling tinggi 4000 TPS atau hanya 4000 responden secara random sampling yang memiliki margin of error untuk mencapai confidence level. Mereka timses Jokowi-Jk tidak mematuhi pernyataan KPU bahwa jangan ada lagi dari masing-masing pihak calon No.1 dan No.2 membuat acara-acara pemenangan. Menurut penulis, methode QC ini sangat lemah apabila dilaksanakan dengan tidak jujur dan ketidak jujuran inilah yang kita lihat ada pada LS dipihak Jokowi-Jk karena menyerobot nilai suara milik Prabowo-Hatta dinyatakan milik Jokowi-Jk dan itu terjadi pada tingkat surveyor dibawah. Malah ada pimpinan LS menyatakan kita tidak pernah meleset dan salah, umumnya kita selalu benar dan kami sangat dipercaya, memangnya QC dari LS sudah menjadi Tuhan bagi para pimpinan LS. Upaya untuk mengaudit dan membuka secara transparan semua LS seharusnya diabaikan saja, mengingat semua LS saat ini tidak ada yang bisa dipercaya.

Untuk mensolusi semua kericuhan ini, kita percaya saja kepada RC-nya KPU pada tanggal 22 Juli 2014 untuk menentukan pemenang yang sebenarnya, karena lembaga inilah yang paling kita percaya dan didasari dengan UU yang syah serta resmi. (Abah Pitung)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline