Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah yang baru Sunanto atau yang akrab dipanggil Cak Nanto, tengah jadi sorotan. Saat baru terpilih, ia sudah diterpa isu bahwa ia orang 'titipan' Istana. Menyikapi itu, pria asal Madura itu tak langsung reaktif. Apalagi emosi. Tetap sabar, seraya menegaskan posisinya sebagai penengah.Pun sekarang, saat belum genap setahun kepemimpinannya di Pemuda Muhammadiyah, berbagai tuduhan miring diarahkan pada Cak Nanto. Sikap Cak Nanto yang mempersoalkan aksi 212, misalnya, memantik reaksi. Ia dianggap titipan Istana. Padahal, Cak Nanto saat menanggapi aksi itu, hanya ingin menyeru, bahwa apapun aspirasi yang disuarakan disampaikan dengan teduh. Sejuk. Persatuan dan kesatuan yang mesti dikedepankan.
Tapi seruan spirit kebangsaan itu diartikan lain. Ya, konstelasi politik yang tengah panas panasnya akibat persaingan politik dalam pemilihan presiden, apapun pendapat dari seorang tokoh, apalagi yang punya massa dan pengaruh gampang digoreng. Apalagi bagi yang tak suka pada yang bersangkutan.
Gerah dengan semua itu, A. Hidayat, Adik Panti Cak Nanto dan Dosen disalah satu perguruan tinggi Muhammadiyah, ikut angkat suara. Ia merasa Cak Nanto diperlakukan tak adil. Cak Nanto memang tetap sabar, tak mau meladeni segala tudingan yang diarahkannya padanya. Tapi, sebagai orang yang pernah dekat dengan Cak Nanto, Adi mengaku tak bisa diam saja.
"Yang terakhir itu Cak Nanto dianggap setuju dengan penghapusan kata kafir. Padahal, tak seperti itu konteksnya. Intinya, seolah setiap kali Cak Nanto mengemukakan pendapatnya, disaat itu juga ada kotraversial. Sebuah kontroversial yang tidak jarang dibarengi dengan hujatan, makian dan bullying fisik yang kasar," kata Adi menyayangkan.
Adi mengaku geregetan. Ia pun memutuskan untuk menelpon Cak Nanto. Pada Cak Nanto, ia bertanya, kenapa setiap ada tuduhan bahkan hujatan,Cak Nanto diam saja. Padahal tidak susah bagi Cak Nanto, misalmya mengeluarkan klarifikasi terkait pendapatnya yang seolah digesting berbeda dengan aslinya.
"Cak, kok sampean diam saja. mbok kasih klarifikasi, minimal di medsos?" Adi mengisahkan kembali ceritanya saat menelpon Cak Nanto.
Tapi kata Adi, dengan gaya santainya Cak Nanto, menjawab dengan santainya," Santai lek, saya tidak ingin berdebat dengan apa yang sebenarnya tidak saya maksudkan. Berdebat secara keras hanya menambah kebisingan dan saya tidak ingin berhadap-hadapan dengan sesama saudara Muslim."
Ah, kata Adi, jawaban itu khas gaya Cak Nanto, pemuda sopan dan santun yang sudah lama dikenalnya. Cak Nanto yang dikenalnya, bukan tipikal orang yang meledak-ledak. Bukan orang yang gagah karena kata-kata besarnya. Baginya, itulah gaya Cak Nanto. Anak muda yang telah menunjukkan kematangannya.
Lewat telpon pula, Cak Nanto banyak bercerita dan menegakan posisi serta pendapatnya. Kata Cak Nanto, hujatan dan cacian di medsos adalah vitamin. Bahkan cambuk penyemangat baginya untuk tetap mengendarai roda organisai sesuai khittah Muhammadiyah. Jika kemudian hujatan dibalas dengan hujatan. Atau minimal ditanggapi dengan keras dan emosial serta reaktif, itu kontraproduktif.
" Kata dia, itu hanya akan menghabiskan energi dakwah kita. Saya menyadari ada upaya menggiring ke sentimen negatif atas apa yang saya ucapkan dipublik. Saya bisa saja membalasnya, tapi itu tidak saya lakukan. Segala hal, jika berawal dari kebencian, hanya akan berakhir dengan kekacauan. Kebencian itu bukan wataknya orang Islam. Mari berdialog. Saya terbuka untuk itu, kita sisihkan kebencian, begitu kata Cak Nanto," tutur Adi menceritakan saat dirinya ngobrol dengan Cak Nanto via telepon.
Setelah komunikasi via telepon, Adi menarik nafas lega. Cak Nanto, sahabatnya itu tenyata tidak berubah. Sama seperti yang ia kenal bertahun-tahun. Tenang dan seolah tidak ada rasa sakit hati. " Semoga tetap diberi kekuatan Cak. Pimpin Pemuda Muhammadiyah dengan gayamu Cak!" Adi mengakhiri curhatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H