Lihat ke Halaman Asli

Abah Imin

Mahasiswa B aja

Awal Penulisan Wahyu dan Pembukuannya

Diperbarui: 22 Juni 2024   19:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Historiografi adalah pencatatan peristiwa sejarah. Historiografi dapat diringkas sebagai sejarah historiografi dalam arti sebenarnya. Artinya historiografi merupakan hasil tulisan tentang peristiwa sejarah. Perkembangan awal historiografi diketahui dari peradaban Yunani dan Romawi klasik. Yunani dan Roma memiliki budaya tulisan yang tinggi. Para pendiri budaya tulis antara lain Herodotus, Thucydides, Polybius, dan Titus Livy yang terkenal. Kebudayaan tulisan ini lama kelamaan menyebar ke berbagai wilayah negara lain, terutama wilayah jajahan Yunani dan Romawi pada masa itu, dan juga mempengaruhi tradisi historiografi Jazirah Arab. Kebudayaan tertulis masyarakat Mekah, sebagai proses simulasi sosial dan relasi budaya, telah dikenal masyarakat jauh sebelum zaman rasul Muhammad.

  Fakta tradisi menulis merupakan hal mendasar dalam historiografi Islam: tawanan perang pada Pertempuran Badar diberi tugas untuk mengajari Ansar Madinah cara menulis, dan sebagai imbalan untuk menyelesaikan misi ini, para tawanan dibebaskan. Inilah awal mula berkembangnya kitab suci pada masa awal Islam. Meski diakui masyarakat Madinah tidak secerdas masyarakat Mekkah dalam pendidikannya, namun hal ini menjadi awal pembelajaran bagi umat Islam untuk mengembangkan tradisi ilmu pengetahuan yang mampu memaknai aktivitas yang mereka lakukan.

Al-Qur'an, seperti kitab suci lainnya, adalah produk sejarah dan fakta. Dalam hal ini produk sejarah berarti ada campur tangan manusia untuk mencatatnya. Upaya tersebut melalui proses yang sangat panjang, mulai dari pengumpulan, penyaringan, seleksi, hingga pengumpulan para sahabat Nabi yang penghafal Al-Qur'an. Namun, penulisan Al-Qur'an pada hakikatnya diilhami oleh Tuhan. Sebagaimana diketahui, Al-Quran diturunkan melalui tradisi lisan. Pada saat itu, sulit dipercaya bahwa hal itu akan dicatat dalam kitab suci yang kekal. Dalam catatan sejarah, catatan tersebut disimpan pada masa Ikhwanul Muslimin (Utsman). Sebagai upaya kemanusiaan, catatan Al-Qur'an bukannya tanpa kesalahan. Jika Anda selalu percaya bahwa Al-Quran itu benar, maka tidak ada yang bersifat manusiawi di dalamnya. Oleh karena itu, kebenaran Al-Qur'an adalah suci.

PROSES TERCETUSNYA PENULISAN WAHYU

Bagaimana sejarah dunia Islam ditulis? Sejarah perkembangan Islam tidak terlepas dari pesatnya perkembangan kebudayaan pada umumnya. Umat Islam begitu maju dalam menulis sejarah sehingga tidak ada bangsa lain pada saat itu yang menulis sejarah seperti umat Islam. Mereka menganggap sejarah adalah ilmu yang sangat bermanfaat. Banyak sejarawan Muslim yang telah menulis ribuan buku dengan berbagai judul yang menjelaskan isinya. Hal ini tentu saja didukung oleh faktor-faktor yang mendorong historiografi dan berkembangnya metodologi-metodologi baru yang menjelaskan isinya. Hal ini tentu saja didukung oleh faktor-faktor yang mendorong historiografi dan perkembangan metodologi pada tahap awal. 

Wahyu bersumber dari risalah Allah SWT sebagai sumber pengetahuan dalam diri para nabi dan rasul-Nya, memuat norma ajaran agama untuk petunjuk kehidupan umat manusia, kadang melalui perantara Malaikat Jibril, dan kadang langsung diterima tanpa perantara, melalui suara, bunyi, bisikan dalam telinga tanpa suara (M. Rasyid Ridlo: 44; Manna al-Qhotton, 1987: 37-38).

Penulisan Al-Quran Pada Zaman Nabi dan Sahabat

Pada masa Nabi, ayat-ayat Al-Quran tidak dikumpulkan atau dicatat seperti sekarang ini. Namun karena beberapa faktor, ayat-ayat Alquran mulai dikumpulkan atau dicatat dan disusun menjadi mushaf. Pada masa Nabi, pengumpulan Al-Quran dilakukan hanya dengan dua cara. Al-Qur'an ditulis pada benda-benda yang terbuat dari, misalnya kulit binatang, batu halus tipis, kurma, dan tulang binatang. Dokumen-dokumen dari benda-benda tersebut dikumpulkan untuk Nabi, dan sebagian di antaranya berakhir di koleksi pribadi sahabat-sahabatnya yang melek huruf. Teks-teks ini, yang ditulis pada berbagai benda, adalah milik Nabi tetapi tidak disusun seperti mushaf masa kini. Pelestarian ayat-ayat Alquran juga dilakukan dengan cara dihafal oleh Nabi dan para sahabat. 

Peninggalan Nabi pun hanya mewariskan dokument tulisan dari benda-benda sebagaimana tersebut di atas yang kemudian dipindahkan kepada Khalifah Abu Bakar As-Siddiq yang tidak lengkap. Berangkat dari bayaknya sahabat nabi yang tewas dalam peperangan (dikenal dengan perang yamamah) sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa jumlah penghafal al-Quran yang tewas pada peperangan tersebut mecapai 70 orang. Olehnya itu muncul inisiatif dari Umar bin Khattab untuk membukukan al-Quran, lalu disampaikanlah niatnya itu pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun tidak langsung disetujui oleh Khalifah Abu Bakar, namun alasan Umar bin Khattab bisa diterima dan dimulailah pengumpulan al-Quran hingga rampung (Pakhrujain & Habibah, 2022).

Dengan demikian, disusunlah kepanitiaan atau Tim penghimpun al-Quran yang terdiri atas Zaid bin Tsabit sebagai ketua dibantu oleh Ubay bin Ka'ab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan para Sahabat lainnya sebagai anggota. Namun dengan rentan waktu yang panjang, mulai pada tanggal 12 Rabbiul Awwal tahun 11 H/632 M yang ditandai dengan wafatnya Rasulullah, hingga 23-35 H/644-656 M (masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan) atau sekitar 18 tahun setelah wafatnya nabi barulah dibukukan al-Quran yang dikenal dengan Mushaf Utsmani (Fitra & Listiana, 2022).

PROSES PEMBUKUAN WAHYU

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline