Kalau diumpamakan, pilpres itu ibarat pasar. Di sana ada penjual, ada pembeli, dan ada barang yang dijual-belikan.Transaksi jual beli dianggap sukses manakala ada kecocokan antara penjual dan pembeli atas barang yang dijual-belikan.
Penjual dapat mempromosikan barangnya dengan berbagai cara selama tidak melanggar aturan/norma. Pembeli pun dapat melihat kualitas barang secara gamblang, tanpa karung penutup kelebihan dan kekurangannya.
Bisa saja, ada barang dengan kualitas biasa, namun laris terjual habis. Di sisi lain, ada barang dengan kualitas bagus, namun sepi pembeli. Kenapa demikian, karena pembeli terbuai oleh iklan promosi. Ini menunjukkan bahwa kualitas barang saja tidak cukup, namun harus diimbangi dengan strategi iklan dan promosi.
Parpol adalah penjual. Publik adalah pembeli. Capres dan cawapres adalah barang yang dijual-belikan. Terpilihnya pasangan capres dan cawapres, selain karena kualitas personal kandidat, dipengaruhi pula oleh kinerja mesin partai dalam mempromosikan/mengkampanyekan calonnya ke hadapan publik.
Tidak bisa dipungkiri, pada proses pelaksanaan sosialisasi masing-masing calon, kerap terjadi gesekan antar calon, timses/jurkam, dan relawan. Kampanye hitam (black campaign) atau kampanye negatif (negative campaign) seolah tak dapat dipisahkan darinya. Justeru, citra politik semacam ini kadang membuat publik menjadi muak, menarik diri, dan bersikap apriori.
Bukankah lebih bagus apabila kampanye dilaksanakan dengan cara yang lebih cerdas dan elegan. Setiap calon beradu visi dan misi, beradu program, memberi alasan kenapa mereka layak menjadi pilihan.
Bagi semua parpol pengusung/tim sukses, seyogyanya mereka mengedepankan pendidikan politik bukan money politics. Tak perlu ada lagi bagi-bagi uang sogokan yang menyandera hati nurani masyarakat.
Bagi para calon, seyogyanya mereka tampil di hadapan publik menjelaskan visi misi yang dimiliki, menyapa warga, menyerap aspirasi, membaca realita. Sehingga publik mengenal sosok calon pemimpinnya, dan mereka pun mengenal siapa dan apa kebutuhan rakyatnya.
Bagi publik, seyogyanya mereka peduli dengan masa depan bangsa. Mereka harus berani berkata tidak pada calon pemuja kekuasaan. Mereka harus tegas menolak calon penyebar uang sogokan. Mereka harus jeli melihat kelebihan dan kekurangan setiap pasangan. Mereka harus mantap dalam menentukan pilihan tanpa iming-iming janji dan pemberian.
Alangkah indahnya bila pesta demokrasi lima tahunan berlangsung secara jujur dan adil. Semua pihak menjunjung tinggi aturan dan norma. Rakyat pun dapat menikmati proses terpilihnya pemimpin bangsa yang akan membawa gerbong Indonesia menuju negara maju, bermartabat, dan berperadaban.
Jakarta, 21 Mei 2014
Salam Persaudaraan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H