"Jika kamu mau jadi guru, jangan harap kamu akan menempati posisi high class. Paling standar-standar saja," itulah kalimat yang sering saya dengar sebelum jadi guru. Dan setelah saya jalani, memang benar adanya.
Boro-boro bermimpi jadi penghuni bumi kelas atas, jadi sultan, apalagi jadi crazy rich. Bisa bertahan hidup, dan dipandang oleh orang lain sebagai kalangan menengah pun sudah saya anggap hebat.
Alhamdulillah. Sebagai seorang PNS guru, saya sangat bersyukur dengan gaji yang diterima per bulan. Meskipun potongan Bank yang tinggi, karena dulu kami terpaksa harus meminjam ke Bank dalam jumlah yang cukup besar (karena terlalu privasi, saya tidak sebutkan nominalnya, he), yang kami gunakan untuk membeli rumah dan melanjutkan pendidikan.
Saat menjalani hidup berumah tangga, layaknya pegawai SPBU, kami memulainya dari nol. Bahkan, bisa dibilang diawali dari minus. Saya masih ingat, ketika mau mengontrak rumah, saya harus meminjam dulu sejumlah uang kepada almarhum paman.
Dua tahun kami hidup mengontrak, yang uang sewanya kami bayar per tahun. Ternyata hidup mengontrak itu tidak tenang. Bulan-bulan terakhir habis masa sewa, kami harus bersiap-siap membayar lagi kepada si empunya rumah.
Tahun 2012, saya pun memutuskan untuk mengajukan pinjaman ke Bank. Saya pakai untuk membeli dan merenovasi rumah yang kami tinggali sekarang, dan sisanya digunakan untuk melanjutkan pendidikan.
Secara matematis, sisa gaji yang saya dapatkan karena dipotong bank, tidak akan cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Seminggu juga sudah habis. Tapi anehnya, rezeki selalu saja ada. Di sini, kuasa Allah yang paling berperan. Setahun setelah gaji saya dipotong Bank, Alhamdulillah saya lolos mengikuti PLPG dan berhak mendapatkan tunjangan sertifikasi.
Sisa gaji pasti habis dipakai makan. Bahkan bisa dikatakan kurang. Dengan berbagai cara kami bertahan hidup.
Tunjangan sertifikasi (yang membuat sebagian PNS lain iri) saya terima 3 bulan sekali sebesar 3 kali gaji pokok, kami gunakan sebagai back-up ekonomi sehari-hari, dana pendidikan anak, berbakti kepada orangtua kedua belah pihak, membayar pajak kendaraan, dan jika ada lebih, kami gunakan pula untuk dana sosial, dan sisanya ditabung, itupun kalau tersisa, seringnya sih bablaaaaas, he-he.
Benar sekali kata lelucon, bahwa saat guru di Amerika berpikir untuk berlibur ke bulan, guru di Indonesia disibukkan dengan bagaimana caranya hidup dari bulan ke bulan.