Hadirnya gadget dan teknologi internet memberikan angin segar bagi para pelajar. Hanya dengan sekali klik, informasi yang dibutuhkan dengan mudah didapat. Pun, bagi guru, menambah ilmu, wawasan dan berbagai pengetahuan dapat dengan mudah dilakukan dengan berselancar di dunia maya.
Dalam pembelajaran Bahasa Inggris, internet menjadi salah satu kebutuhan penting yang harus dimiliki para siswa. Dalam hal ini, mereka dapat dengan mudah mencari definisi dari suatu kosakata, menambah sumber literasi suatu teks, meningkatkan keterampilan pronounciation (pelafalan), serta aspek-aspek keterampilan lainnya.
Namun, ada pula dampak negatif yang mengiringi hadirnya teknologi ini. Dengan mudahnya akses yang dimiliki, para siswa menjadi semakin "dimanjakan" oleh adanya fasilitas "translator online", sehingga mengakibatkan pada lemahnya penguasaan kosakata di dalam isi kepala mereka (bukan di luar kepala, hehe).
Saya seringkali mengetes penguasaan vocabulary (kosakata) siswa, bahkan dengan menanyakan arti kata yang sangat mudah sekalipun, dan ada di antara mereka yang tidak tahu sama sekali arti kata tersebut. Padahal, kosakata yang saya tanyakan sangat sering digunakan dan begitu sederhana.
Anehnya, ketika mereka diminta untuk menerjemahkan satu teks, dengan cepat mereka dapat melakukannya. Inilah hebatnya teknologi. Cepat dikerjakan, namun tidak menyerap di otak.
Berangkat dari masalah di atas, beberapa hari ini saya pun mulai menerapkan sistem ulangan lisan, dengan memberikan kumpulan kosakata yang harus dihafalkan oleh siswa selama beberapa hari, dan saya menguji mereka dengan memberikan soal terjemahan secara acak sebanyak 10 kata. Hasilnya? Mereka cukup kerepotan untuk melakukannya! Namun saya akui, sistem ini lumayan jadi shock therapy juga untuk mereka agar meningkatkan penguasaan vocabulary Bahasa Inggris, dan tidak selamanya mengandalkan google translate.
Mungkin sebagian pembaca menganggap hal ini sepele, namun saya yakin, jika fenomena ini dibiarkan, akan tercipta para pelajar yang tidak memiliki kepercayaan diri, karena hanya percaya pada kekuatan pengetahuan mesin yang bernama internet. Fungsi otak sebagai penyimpan memori, semakin digeser menjadi penyimpan informasi sesaat, untuk lantas dilupakan begitu saja, karena banyaknya tugas yang harus dikerjakan sehingga mereka hanya fokus pada target, yang penting tuntas.
Saya akui, tidak semua pelajar mengalami gejala ini. Ada pula di antara siswa yang lebih mengutamakan untuk menyerap ilmu sebanyak-banyaknya, mengerjakan tugas untuk dipahami oleh memori mereka, dan internet hanya digunakan sebatas alat saja. Namun, saya rasa, hanya beberapa persen siswa yang berprinsip seperti ini.
Pengawasan dari guru sangat diperlukan untuk mengatasi kurang optimalnya "penggunaan otak" dalam belajar ini. Evaluasi dan penilaian hasil belajar siswa, sebaiknya lebih diorientasikan pada soal essay, ulangan lisan dan praktik berbahasa Inggris yang langsung terlihat nyata. Guru sebaiknya mengurangi penugasan yang sifatnya kerja kelompok penyusunan makalah yang beresiko "copy and paste", serta mengurangi soal-soal ulangan Pilihan Ganda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H