Lihat ke Halaman Asli

Mengganti Hewan Kurban dengan Uang

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

SAMPAI saat ini kondisi perekonomian kita belum juga membaik. Bahkan, di saat kita sedang melakukan perbaikan-perbaikan dalam bidang ekonomi, dan telah memperlihatkan titik-titik terang, tiba-tiba kita dihadapkan kembali pada ancaman resesi yang lebih besar. Mungkin, yang sedikit membedakan kondisi saat ini dengan kondisi sebelumnya adalah bahwa masyarakat sudah sangat terbiasa dengan itu semua. Mereka sudah tidak ambil pusing soal harga minyak mentah di pasaran dunia, tidak peduli pada kondisi dan situasi politik yang berkembang. Tidak peduli pada apa yang terjadi di gedung DPR/MPR. Ketika Ramadan tiba, mereka menjalani puasa dengan tenang, lalu ber-Lebaran dengan ceria dan mudik dengan motor kreditan. Apa lagi yang harus dipikirkan? Jalani saja semuanya dengan senang hati. Sekalipun begitu, bukan berarti bahwa keadaan mereka oke-oke saja. Kalau sekadar untuk makan, dengan selembar uang sepuluh ribu pun jadi. Akan tetapi, mencari yang sepuluh ribu itulah persoalannya. Sulitnya bukan main!

Lebaran telah lewat dengan seluruh keceriaannya, dan insya Allah, 8 Desember nanti, Iduladha akan tiba. Hewan kurban akan disembelih dan dagingnya dibagikan kepada masyarakat yang kurang mampu. Lalu saya teringat peristiwa sepuluh tahun silam, saat krisis ekonomi baru mulai melanda negeri kita. Saat itu, seperti juga hari ini, sudah mendekati Iduladha. Salah seorang kawan saya yang sehari-harinya menjabat sebagai ketua pada suatu bagian yang berurusan dengan pengabdian kepada masyarakat, atas inisiatifnya sendiri melakukan semacam survei. Survei itu berkaitan dengan persepsi masyarakat tentang pembagian hewan kurban, karena dia memang langganan menjadi ketua pelaksana pembagian daging kurban setiap Iduladha. Dalam survei yang dia lakukan terhadap calon penerima daging kurban, karib saya tersebut mengajukan pertanyaan, "Pilih mana, daging kurban atau uang?" Ternyata semuanya menjawab, "Lebih suka uang."

Setiap Iduladha instansi kawan saya itu memang menyelenggarakan pembagian daging kurban. Dulu, rata-rata setiap tahun instansinya menyembelih sekitar sepuluh ekor sapi, yang dagingnya kemudian dibagikan kepada masyarakat sekitar. Tahun ini mudah-mudahan juga seperti itu. Dulu, ketika harga beras belum mahal, pembagian daging kurban mereka terima dengan senang hati. Akan tetapi, ketika saat ini mendapatkan uang sepuluh ribu demikian sulitnya, saya pun teringat lagi pada hasil "survei" kawan saya itu. Lalu saya mengajak beberapa kawan untuk mendiskusikannya lagi. Semacam majlis mudzakarah tiba-tiba terbentuk.

Sebagian dari kawan-kawan yang terlibat diskusi, dengan penuh antusias mengatakan bahwa uang yang nanti akan dibelikan sapi, sebaiknya dibagikan dalam bentuk uang saja. Salah seorang di antara kami bahkan sempat membuat kalkulasi kasar. Jika harga seekor sapi sekarang ini sekitar Rp 10.000.000,00 maka sepuluh ekor sapi akan berharga Rp 100.000.000,00. Bukan main besarnya! Kami sempat tercenung dengan jumlah itu. Hitung saja. Kalau dibagikan kepada 1.000 orang, masing-masing orang bisa menerima Rp 100.000,00. Kalau dikurangi menjadi 500 orang, tiap orang mendapat Rp 200.000,00. Dengan uang itu mereka dapat membeli beras 10 kg, elpiji dua tabung kecil, ikan asin, tahu, tempe, dan sayur untuk seminggu, atau membeli buku anak mereka di SMP, sebab sekalipun ada BOS, toh mereka tetap harus membeli buku.

Akan tetapi, belum selesai kawan saya itu melanjutkan argumennya dengan detail-detail lainnya, seorang kawan yang lain dengan tidak kalah semangatnya membantah. Dia mengatakan bahwa hal seperti itu tidak ada tuntunannya dalam Alquran maupun Sunah. Oleh karena itu, hukumnya bidah. Lagi pula, kata dia, ada hikmah tertentu yang terdapat dalam penyembelihan binatang kurban itu. Kalau kita ganti dengan uang, kita kehilangan nilai-nilai sakral dalam penyembelihan hewan kurban.

Kawan yang tadi mengajukan pendapat agar sapi diganti dengan uang, mengajukan argumen balasan, "Bukankah zakat fitrah dapat diganti dengan uang, dan uang tersebut bebas digunakan untuk membeli sesuatu yang diinginkan mustahiknya?"

"Kalau itu kan ada keterangannya," kata kawan tadi menjawab.

Diskusi semakin hangat, dan hingga kini belum selesai. Dengan demikian, tulisan ini mendahului hasil akhir mudzakarah tersebut. Akan tetapi, dalam diskusi tersebut sudah terlihat tanda-tanda bahwa jalan tengah akan ditempuh, menyembelih sebagian binatang kurban dan mengganti sebagian lainnya dengan uang.

Diskusi kawan-kawan tersebut mengingatkan saya pada pendapat, kalau saya tidak salah, Prof. Dr. Atho` Mudhar (mantan Rektor IAIN Yogya) yang dimuat majalah Tempo lebih dari 15 tahun yang lalu. Saat itu Pak Atho` mengatakan, sebaiknya binatang kurban itu diganti saja dengan uang, dengan alasan lebih praktis dan bersih. Karena alasan Pak Atho` simpel sekali, diskusi kawan-kawan tersebut menggoda saya untuk "berdiskusi sendiri" dengan membuka-buka beberapa kitab fikih dengan kemampuan saya yang cekak. Kitab-kitab fikih, lazimnya, secara rinci mengemukakan tentang hukum menyembelih kurban, jenis-jenis binatang yang boleh dijadikan kurban, waktu penyembelihan, hingga sifat-sifat binatang yang akan disembelih. Akan tetapi, tidak ada satu pun literatur yang saya baca menjelaskan tentang boleh tidaknya binatang sembelihan itu diganti dengan uang atau barang lainnya. Memang ada sedikit isyarat ke arah itu, tetapi kualitas riwayatnya dinyatakan dha`if (lemah). Riwayat tersebut menuturkan bahwa Ikrimah pernah diberi uang dua dirham oleh Ibnu `Abbas untuk membeli daging, dengan pesan, "Terhadap orang yang bertemu denganmu (dan menanyakan ihwal daging ini), katakan kepadanya bahwa ini adalah (daging) kurban Ibn `Abbas" (Ibn Rusy, Bidayat Al-Mujtahid, I, halaman: 429).

Mohon segera digarisbawahi, bahwa dalam riwayat di atas Ibn Abbas tidak menyerahkan uangnya sebagai ganti zakatnya, melainkan untuk dibelikan daging, dan dianggap daging tersebut sebagai daging kurban. Seandainya kualitas hadis ini sahih, barangkali diskusi kawan-kawan tadi tidak akan terjadi. Riwayat lainnya, juga dengan kualitas dha`if, mengatakan bahwa Bilal pernah berkurban dengan seekor ayam jantan. Karena nilai kedua riwayat tersebut dha`if, kita mesti melupakannya sebagai sandaran pendapat.

Hikmah kurban adalah memberi konsumsi "istimewa" kepada kaum miskin di hari yang istimewa pula (Iduladha). Jika dilihat dari sini, fungsinya mirip dengan zakat fitrah. Akan tetapi, mirip bukan berarti sama. Sebab, jika sama, tentunya Islam mewajibkannya dalam bentuk makanan pokok saja, misalnya kurma atau beras. Sementara, dalam segi hukum juga ada perbedaan. Jika zakat fitrah hukumnya wajib, maka hukum kurban diperselisihkan. Sebagian ulama mengatakan wajib, dan sebagian lainnya mengatakan Sunah Muakadah. Dasar dari perbedaan pendapat ini adalah hadis-hadis Rasulullah saw., yang memang dapat ditafsirkan secara berbeda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline