Lihat ke Halaman Asli

Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

DISKUSI buku API SEJARAH yang biasanya dihadiri para bapak dan ibu serta para mahasiswa, pada Sabtu, 14 November 2009 pagi lalu di Masjid Istiqamah Bandung, dibanjiri pelajar SMP dan beberapa guru yang mendampinginya.

Selidik punya selidik, ternyata pengurus DKM Istiqamah merangkap guru sehingga dikerahkan untuk mengikuti “kelas sejarah” yang disampaikan Prof. Ahmad Mansur Suryanegara. Kebetulan waktu itu saya ditugaskan untuk memandu “kelas sejarah” (diskusi buku API SEJARAH) di lantai dua Masjid Istiqamah Jalan Citarum Bandung.

Seperti biasa, setelah sang MC menyampaikan pembukaan dan sambutan, saya mengantarkan Pak Mansur dengan sedikit informasi perihal buku yang dibahas. Saya menyampaikan bahwa API SEJARAH yang diterbitkan Salamadani Publishing pada Ramadhan 1430 H sudah masuk cetakan dua dan banyak diapresiasi orang.

Beberapa media online dan cetak sudah memuat resensinya, bahkan terdapat beberapa komentar kritis terhadap buku API SEJARAH; dari mulai mempertanyakan keabsahan sumber sejarah sampai menggugat aspek desain dan editing naskahnya. Meskipun dipertanyakan, termasuk oleh Dr.Asvi Warman, peneliti sejarah dari LIPI Jakarta, tetapi buku tersebut laris.

Pak Mansur, penulis yang sudah berusia 77 tahun ini, dalam menguraikan isi buku API SEJARAH mengawalinya dengan mengutip pernyataan Presiden Republik Indonesia pertama Ir.Soekarno tentang pentingnya sejarah bagi kehidupan umat manusia.

“Jasmerah: jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,” kata Pak Mansur, “karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Orang yang lupa pada sejarah tidak bisa merancang masa depan hidupnya, bahkan bangsanya tidak berjalan dengan normal.”

Selain mengingatkan pentingnya sejarah, Pak Mansur juga membongkar tentang penulisan sejarah (historiografi) Indonesia yang dibuat atas dasar kepentingan politik sehingga mengecilkan peranan kaum Muslim, khususnya ulama dan santri yang memperjuangkan tegaknya Indonesia hingga terbebas dari penjajah.

Menurut dosen senior di jurusan Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini, pada pra-kemerdekaan terdapat organisasi yang berjuang tidak untuk Indonesia, tetapi untuk penjajah dan bersifat kedaerahan.

“Yang pertama memperjuangkan gerakan nasional adalah Syarikat Islam, bukan Boedi Oetomo. Yang memperjuangkan pendidikan bukan Ki Hajar Dewantara, tetapi KH.Ahmad Dahlan dengan mendirikan Pesyarikatan Muhammadiyah dengan orientasi pendidikan dan kepedulian sosial yang sampai hari ini tegak. Anehnya tidak diakui sebagai pelopor pendidikan. Penentuan hari pendidikan di Indonesia karena pada waktu Ki Hajar Dewantara menjadi menteri. Bahkan, penentuan pahlawan nasional oleh pemerintah pun tidak berdasarkan peran dan kontribusi pada waktu itu. Seharusnya yang harus dimunculkan dan dikenang sebagai pahlawan nasional itu harusnya ulama-ulama. Anehnya, orang yang menolak asas nasionalisme diangkat sebagai pahlawan, bahkan pelopor kebangkitan nasional,” ungkap Pak Mansur.

Lebih jauh, penulis juga menyajikan fakta tentang penghinaan terhadap Rasulullah saw yang dilakukan Partai Indonesia Raja (Parindra) pimpinan Dr.Soetomo dengan menurunkan artikel di Madjalah Bangoen, 15 Oktober 1937. Bahkan, sang Saka Merah Putih (bendera Indonesia) dianggapnya sebagai bendera Rasulullah saw dengan dalil merujuk pada ayat-ayat Quran yang berhubungan dengan darah dan putih merujuk pada pakaian Rasulullah saw.

Dalam sesi tanya jawab, terdapat tiga penanya yang salah satunya guru sejarah. Guru sejarah itu merasa kebingungan dalam mengajarkan sejarah: versi pemerintah atau versi terbaru dari Ahmad Mansur Suryanegara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline