Lihat ke Halaman Asli

Alan Barok

Seorang Ayah, Seorang Suami dan Seorang Anak

Ditelanjangi Mak Tua

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bulan ini, merupakan bulan dzulhijah ke sekian kali yang aku lewati, dari tahun ke tahun Nampak tidak ada perubahan, hirup pikuk dunia parlemen yang di suguhkan, hanya membuat aku mual saja. Ditambah lagi dengan berbagai peristiwa yang melanda bangsa ini, cecak dan, tokek yang tak kunjung bijak. Hambalang yang mengapung bak layang-layang di tiup angin entah berhenti dimana, belum lagi bintang-bintang yang berlegak-legok di depan cameramen yang senantiasa memajangkan keelokan dan keindahan dunia. Nyayian dan tarian erotispun menjadi pengisi acara inti memperingati kemerdekaan…huuuuuuuuh….aku menghela nafas panjang. Aku tak pernah habis berfikir mau sampai kapan bagsa ini di suguhkan dengan fatamorgana seperti ini.

Nampaknya kita akan sangat aneh jika di Indonesia tidak ada mendengar atau melihat suasana kekisruhan dalam antrian, sehingga hampir dalam setiap acara seringkali kekisruhan terjadi, terlebih jika sudah menyangkut ‘perut’. Tentu kita masih ingat betul bagaimana pembagian zakat tempo hari bulan ramadhan. kini kita disuguhi bulan dimana “peduli sesama” menjadi slogan utama. Idul qurban sejatinya melahirkan jiwa berkorban dari setiap insan manusia menuju ridhaNya, bahkan dalam riwayat yang shahih dikatakan bahwa idul adha sesungguhnya nilainya harus lebih daripada idul fitri, lantas apa yang terjadi hari ini? Media lagi-lagi mempertontonkan kita bagaimana ‘mereka’ berebut di tengah-tengah negeri yang konon katanyana negeri terkaya.

Ditengah fatamorgana yang negeri ini sajikan, aku ditelanjangi seorang wanita tua, yang sehari-harinya hanya memungut botol-botol bekas. Rumah sederhana yang dipenuhi sampah dan serakan hasil kerjanya sebagai pemulung tak membuat ia berkecil untuk berbagi. Aku tau daging yang kau berikan tak sebesar daging tuan tanah yang ada istana sana, tapi kenapa justru daging yang kau beri yang membuatku menangis, kau telah mengingatkanku akan mimpi, kau telah mengajarkanku kekuatan….

"Sudah lama Mak pengen kurban Nak. Sejak tiga tahun yang lalu. Tapi kan mak ini kerjaannya cuma mulung, jadi penghasilan nggak jelas. Buat makan sehari saja kadang udah sukur. Jadi Mak ngumpulin dulu duit Rp 1.000, Rp 1.500 sampai tiga tahun, lalu Mak beliin kambing dua ekor. Sampai-sampai penjual kambingnya Mak cegat di tengah jalan saking Mak pengen beli kambing," http://news.detik.com

Orang boleh melihat dan menghukumi Mak Yati belum wajib melaksanakan qurban, tapi emak hari ini membuktikan kepada mereka bukan karena “materi” atau “mampu” manusia untuk berbuat kebaikan.Tapi karena niat, impian dan Action manusia bisa berbuat.  Sungguh “Allah tidak akan memanggil orang mampu untuk berqurban, Tapi allah akan memampukan orang yang memiliki keinginan untuk berqurban”.

Disamping mimpi Mak Yati telah mengajarkan kita untuk tidak selalu ingin di beri, Kefakiran, penderitaan bukan alasan untuk menjadi seorang ‘pemberi’.

"Pada bilang apa tidak sayang, mending uangnya untuk yang lain. Tapi saya pikir sekali seumur hidup masa tidak pernah kurban. Malu cuma nunggu daging kurban," ujar Yati. http://www.atjehpost.com

Aku yakin ditengah ketidakjelasan bangsa ini, masih banyak emak-emak lain atau bahkan calon ‘emak’ atau suaminya ‘emak’ atau bahkan anaknya ‘ema’, atau mungkin tetanganya ‘emak’ seperti Mak yati yang masih memiliki hati untuk berbagi. Bukan hanya ingin di beri atau hanya mengobar janji tanpa bukti….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline