Lihat ke Halaman Asli

Orok

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Selamat pagi, Bu.”
“Pagi. Berangkat sekolah?”

Sebuah sapaan yang kerap singgah setiap aku menyiram tanaman di halaman rumah pagi hari. Ia mengangguk dan kembali menyusuri jalan depan rumah. Remaja putri yang baru duduk di kelas I  SMA itu selalu menghadirkan senyum. Anak yang baru kost di rumah ketua RT itu terlihat lugu dan cantik. Jaket biru yang selalu dikenakan begitu serasi dengan perawakannya.

Ah, mungkin saat menyiram kembang ini, aku ditemani seorang putri dari rahimku sendiri. Atau pagi buta aku sudah membangunkannya. Menyiapkan makan pagi, bekal ke sekolah atau sekadar membantunya mengerjakan PR. Suasana yang lama terendap dan selalu membayangi. Hanya sebuah harapan. Tak lebih.

Mas Soni menyiapkan sepatunya sendiri. Tanpa sepatah kata pun. Ia melenggang mengambil dan menghidupkan mobil dan berlalu di hadapanku. Sunyi. Aku masuk ke dalam. Foto pernikahan itu tak tergantung lagi di dinding. Kejadian semalam kembali mengulang permasalahan yang samai. Sampai kapan bahtera rumah tangga ini mendapat jawab? Apakah Tuhan mencoba kami? Sekian waktu jalinan rumah tangga ini seakan terjebak pada labirin tak berujung. Harapan menimang bayi lucu di dalam rumah hanyalah bias sempurna yang mengantar rumah tangga kami dalam perselisihan dan perselisihan.

***

Senyum dan sapa Mbak Pipit di pagi ini sedikit mengobati kegelisahanku. Masih ada orang yang tersenyum kepadaku. Wanita mulia yang selalu terlihat rajin. Pagi-pagi sudah membereskan rumah, menyiram tanaman di halaman, dan selalu bersikap manis saat kulewat di hadapannya. Ah, mempunyai suami Mas Edi yang cukup secara materi dan pekerjaan tak jadi alasan untuk mangkir tanggung jawab sebagai  istri. Bayangan yang tak dapat kubandingkan dengan Wahyu. Apa yang harus kuceritakan nanti kepada orangtuaku?

Riuh pangkalan angkot tak menyurutkan lamunan dan kegundahan ini. Sekolah? Aku harus bertemu lagi Wahyu? Tiba-tiba dering SMS di HP-ku mengalihkan konsentrasi lamunanku.

Rat, istrhat ntar ku mo ngmong!

Kembali lagi pertengkaran ini harus terjadi lagi. Sekolah hanya neraka, dan neraka itu terus bersemayam selama solusi ini belum terjawab. Jaket tebal yang terus kukenakan akankah harus menjadi “pelindungku”?

***

Pukul 12 siang suamiku sudah kembali ke rumah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline