Lihat ke Halaman Asli

Sang Penyair

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ketukan pelan di pintu terdengar saat jarum jam dinding menunjuk angka sebelas. Kubuka kunci, sementara otakku masih belum connect benar dengan alam sadar. Angin malam berembus di luar sana. Kulihat mukanya pucat, sebatang rokok kretek, tinggal sekali isap saja, terselip di bibirnya yang makin menghitam. Rambut gondrongnya acak-acakan.

"Sorry, kawan. Biasa, aku numpang tidur dan kebetulan cacing di perut manusia di dunia ketiga ini tengah menuntut jatah".

Sandal tali yang dibeli dari honor pemuatan puisinya di sebuah majalah, satu tahun lalu, disimpannya dekat pot kembang. Lampu ruang tamu kunyalakan. "Ritual" yang biasa terjadi bila kawanku ini berkunjung. Istriku terbangun. Hal yang otomatis ia lakukan saat kawan satu ini biasa datang tanpa diduga. Istriku pergi ke dapur membuat segelas kopi pahit.
Rumahku bagaikan sarang yang kapan saja biasa ia bisa masuki; dengan catatan saat orang rumah ada. Ia melintingkan bagian lengan kemeja panjangnya yang tampak begitu belel. Ia lalu duduk di kursi ruang tengah dan dikeluarkannya sebungkus rokok dan pemantik kusam. Mulailah ia mengembuskan satu demi satu asap rokoknya.
"Terima kasih, istri kawanku ...", senyumnya melebar saat istriku menghidangkan kopi kesukaannya. Istriku hanya mengangguk pelan dan pamit untuk melanjutkan rangkaan mimpinya. Matanya agak lama menatap kepergian istriku.
"Dari mana saja kau Mr.  X?", begitulah aku memanggilnya. Dia yang menuntut aku memanggilnya begitu, sejak menasbihkankan dirinya sebagai penyair. la mengeluarkan beberapa lembar kertas kumal hasil corat-coretnya. Entahlah, saat ia datang hampir selalu aku dengan setia menemaninya ngobrol. Kalau kubilang diskusi, kurasa kurang tepat sebab biasanya sampai subuh ia yang terus-menerus bicara. Seringnya ia mendengar omonganku dengan mulut daripada dengan telinganya. Aku hanya jadi pendengar yang baik dan benar menurut ukurannya. Dari kuliah dulu kebiasaan ini terjadi. la memang kawan aneh, seaneh buah pikirannya yang selalu dimuntahkan tiba-tiba.

"Huaaaaaay... aku habis cari inspirasi. Aku sedang berencana bikin antologi puisi. Sebenarnya aku ke sini ingin laporan: tiga hari lalu istriku sudah kucerai".
Ya ampun, ini yang keenam kalinya ia melakukan hal tersebut. Aku kira ia akan meneruskan pembicaraan minggu kemarin tentang Inul dan feminisme, atau postmodernisme, realisme sosialis, religiusitas, masalah sastra koran, atau bagaimana upaya mencari dana untuk menyelenggarakan acara bersastra.
"Sebenarnya, aku memilih bercerai sebab tak mau terikat. Aku baru sadar, dengan punya istri, aku telah mema-sung segala kebebasan dan geliat batinku... uh! Aku sekarang merasa bebas! Dia adalah perempuan yang tidak cocok bagiku. la tak menerima kebiasaan hidupku. Daripada terus bertengkar ya... terpaksa. Betul-betul ia wanita yang sulit dibawa untuk mengenali esensi hidup".
"Lalu, kau sekarang akan tingal di mana? Terus menggelandang?"
Sebentar ia menyeruput kopi. Matanya yang merah menatapku pelan. Kerutan di wajahnya begitu semakin kentara.

"Hidup adalah menggelandang. Entahlah, aku hanya ingin menemukan arti cinta. Aku belum pernah merasakan jatuh cinta sebenarnya pada wanita. Mungkin aku sedang bereksperimen mencari maknawiah dari seorang Hawa."

Mr. X adalah nama samaran yang ia pakai dalam karangan maupun karyanya. Nama aslinya adalah Kirdun. la temanku dari SMA sampai sama-sama kuliah di fakultas sastra. Semester tiga ia memilih keluar, tak dapat pencerahan katanya. Pernah pula ia kuliah di jurusan filsafat dan sebentar menimba ilmu di sebuah sekolah seni. Menjadi Bohemian-lah yang akhirnya ia pilih sebagai gaya hidup. la senang berdialog denganku. Alasannya, bila ia berdebat dengan orang-orang di komunitas sastra atau seni, ia sering merasa tak senang. Sampai sekarang aku tak tahu apa alasan sebenarnya.

Dengar-dengar sih, katanya karena ia terlalu banyak omong daripada berkarya. Repotnya, hal ini terjadi uniknya hanya pada dia. Kabar minggu kemarin yang kuteri-ma dari dia, bahwa ia akan membentuk komunitas sastra dan filsafat. Ada lagi keunikan darinya, ia tetap belum bisa mengakui adanya Tuhan, katanya: 'aku ingin mencari Tuhan, bak Ibrahim memercayai bulan, bintang, dan matahari'.

Jam berdentang dua kali. la mengambil nasi plus lauk di buffet. Seperti biasa ia begitu lahapnya makan. Begitulah kehidupannya, rumah kontrakannya sudah tak mampu lagi ia bayar. Untuk makan, ia mengandalkan pemberian temannya yang lebih beruntung daripada dia atau menjual sesuatu. Kadang sih sekali-dua kali dari honornya yang dimuat. Untuk tidur, ia memilih di emperan atau di sanggar-sanggar yang mau menampungnya. Kilahnya bahwa Chairil pun dulu hidupnya begitu.

Sesudah makan ia mengambil sebatang rokok "generik". Ya, biasa ia menyebutnya begitu. Tandanya ia sedang cekak. Kalau sedang ada uang, pasti ia lebih memilih rokok "borjuis"." Pantang ia harus erokok yang berfilter, apalagi rokok setengah tar. "Sulit untuk memancing ide," katanya.
"Begini, untuk beberapa hari ini terpaksa aku numpang tidur di gudang belakang. Kalau bisa, aku meminjam dulu uang... kau kan sahabat terbaik.  Katanya tender projek pembuatan rumah susun kau dapatkan lagi, ya? Hitung-hitung beramal. Kebetulan akhir- akhir ini aku sedang banyak ide. Entar, kalau dimuat... aku ganti."
Ucapan yang begitu klise sebenarnya. Kalau dieksplisitkan, arti  meminjam di sini sama dengan meminta. Anehnya, aku sering tak merasa terganggu atau pusing oleh sikapnya, termasuk juga istriku. Mungkin karena sebelum menikah dulu aku pernah bilang padanya bahwa aku punya teman jeprut seperti dia. Entahlah, kalau kami punya anak. Istriku pun lebih banyak di luar rumah dengan pekerjaan kantornya. Kita baru bertemu hanya saat malam. Ya, hitung-hitung kawanku menjaga rumah dan memang ia bisa dipercaya.
***

Menjelang seminggu ia berada di rumahku. Suatu malam saat ia mengetik di "sarangnya" sebuah gudang dekat ru ang dapur. Kami berbincang. Kebe tulan hari ini tanggal muda, aku belikan dia sepak rokok "borjuis" dan sebungkus gula-kopi. Istriku malah membelikannya dua buah kaus warna hitam dan satu kemeja lengan panjang. Istriku merasa kasihan sebab hanya itu-itu saja baju yang ia kenakan. Muka kawanku itu terlihat riang.
"Hari ini aku benar-benar merasa jadi penyair serius. Terima kasih banyak kawan!", ia menepuk pundakku. Dan kembali kami terlibat percakapan hangat. Sementara itu, istriku tadi sore sudah pergi tugas ke luar kota.

Awalnya, "menu" pembicaraannya tentang Sisifus dan politikus. –Hingga akhirnya, kami mem bicarakan kemungkinan dia menikah lagi. Aku sarankan dia menikah kembali, supaya ada yang mengurus dan dia bisa mencari nafkah yang bisa lebih diandalkan. Bukan, bukan aku berniat hendak mengusirnya dari rumah ini.
"Ok... kawan, aku juga terpikir untuk itu. Aku sudah berkontemplasi beberapa hari ini untuk memutuskan menikah kembali".
Syukurlah. Aku berniat membantunya mendanai pernikahanya. Malah, aku menawarinya untuk bertempat tinggal di salah satu kaveling rumah susun yang telah kurampungkan projeknya. la hanya tersenyum.
"Aku benar-benar terus membayangkannya. Tetapi..."
"Cantikkah ia?"
"Sangat cantik, plus sangat baik!"
"Siapa?"
Ia terdiam sebentar. Diisapnya rokok pemberianku itu. Air mukanya tiba-tiba berubah menjadi begitu serius,
"Istrimu!"
Kali ini aku baru merasakan layaknya Guru Isa yang berhadapan dengan Hazil dalam Jalan Tak Ada Ujung. Asap rokok keluar dari mulutnya lalu membentuk rupa iblis yang tiba-tiba membuat otakku mampat. Tanpa tedeng aling-aling. Najis!
"Aku serius, kawan. Aku betul-betul jatuh cinta pada istrimu!"

** Aminudin, cerpenis, tinggal di Bandung

(Tulisan ini pernah dimuat di salah satu harian di Bandung)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline