Film tentang balas dendam adalah tema yang umum pada film di berbagai budaya. Semangat itu telah mendorong manusia untuk menjalani kehidupan tertentu, untuk balas dendam. Film yang baru saja penulis tonton juga tentang tema tersebut. Mengambil latar di Afrika Selatan pasca apartheid. Seorang polisi wanita, Jodie, menyelidiki tentang suatu kasus. Kasus diculiknya enam, bahkan lebih anak-anak untuk kejahatan seksual dan perbudakan. Mereka "used" kemudian dibunuh, beberapa dari mereka di barter dengan minyak ke negara-negara Timur Tengah atau Iran.
Jodie selalu selangkah terlambat. Satu per satu orang di masa lalu yang terlibat dalam perdagangan orang terbunuh. Di dadanya disayat inisial korban gadis kecil yang diculik, baik dari kalangan kulit putih maupun kulit hitam. Penonton dapat menebak siapa yang bertindak. Salahsatu mitra Jodie, yang pada masa kecilnya juga termasuk korban.
Ia beroperasi sendiri, membunuh para penjahat. Sampai akhirnya ia terbunuh. Jodie meneruskan pekerjaannya. Membunuh seorang petinggi partai yang terlibat dalam kasus pembunuhan ini. Di akhir cerita digambarkan bahwa Jodie pergi naik pesawat tujuan Iran.
Teman Jodie terbunuh ketika terlibat tembak menembak dengan pengawal petinggi partai. Seorang polisi pria, mitra Jodie juga terbunuh dalam penyergapan ke pesawat pribadi yang akan membawa anak-anak tujuan ke Timur Tengah.
Sekilas terlihat adegan saat aktor berpakaian khas Arab bersalaman, terlihat bertato. Ini sebenarnya agak aneh. Karena budaya tato jarang ada pada masyarakat Iran maupun Timur Tengah yang mayoritas muslim, baik Sunni maupun Syiah.
Film ini didedikasikan kepada para korban perdagangan orang yang sampai saat ini masih banyak terjadi. Walaupun sekarang adalah dunia modern. Kejahatan tindak pidana perdagangan orang, bahkan disebut sebagai perbudakan modern, masih marak. Beberapa orang dari Indonesia dan negara-negara lainnya dijual ke Myanmar untuk melakukan kejahatan yang dikoordinir oleh penjahat internasional yang didukung oleh oknum aparat pemerintah yang korup. Pengungsi Rohingya tiba di Provinsi Aceh dengan membayar kepada oknum penyelundup diantara mereka. Kemudian mereka berusaha melarikan diri untuk menyeberang ke Australia dibantu oleh oknum-oknum kaki tangan penyelundup dari warga negara Indonesia sendiri.
Film ini dibuat berdasarkan sebuah kisah nyata di Afrika Selatan. Mungkin saja ceritanya sudah diubah dari fakta nyatanya, namun spirit yang disampaikan oleh film ini sangatlah nyata. Kejahatan kemanusiaan terjadi di masyarakat yang lemah berhadapan dengan superioritas di pihak lainnya.
Kekuasaan yang terlalu besar cenderung untuk korup. Demikian salah satu pelajaran dari film ini. Seorang petinggi partai besar melakukan kegiatan yang jahat, karena ia memiliki kekuasaan untuk melakukannya. Mampu membayar orang untuk bekerja untuknya tanpa mempertanyakan apa yang dia lakukan. Demikian pula adanya manusia-manusia perantara perdagangan orang yang tidak berperikemanusiaan, yang akhirnya harus tewas, mempertanggungjawabkan perbuatan masa lalunya dengan nyawanya.
Memelihara dendam menjadi spirit untuk pembalasan. Pembalasan yang berujung kematian diri sendiri dari tokoh kedua film ini. Sang korban di masa lalu. Pada kehidupan manusia sekarang ini, dendam membawa energi negatif dalam berkomunikasi dan berinteraksi sesama manusia. Dalam organisasi misalnya, adakalanya muncul situasi yang menyulut konflik dalam peristiwa perubahan kepemimpinan. Seseorang harus berhenti pada posisinya digantikan oleh yang lain. Untuk menuju ke pergantian, terjadi intrik, debat, dan sebagainya. Sehingga menimbulkan rasa sakit, bahkan dendam. Sikap ini dibawa lebih lanjut dalam praksis tahapan selanjutnya. Maka itu akan membuka jalan baru yang semakin berjarak.
Maka alangkah bijaknya apabila kita menghapus dendam dan menggantinya dengan memaafkan. Mereka yang sejahtera adalah yang mau menerima guratan takdir dan tidak mendendam. Setiap peristiwa adalah pembelajaran untuk menuju pribadi yang lebih baik dan lebih baik lagi. Sang Nabi telah mengajarkan hal itu. Bagaimana kejahatan-kejahatan diterima dari seseorang, tidak menjadikannya mendendam dan membalas. Yang ada malah membalas kejahatan dengan kebaikan. Ini hal yang tak mudah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H