Lihat ke Halaman Asli

Giwangkara7

Perjalanan menuju keabadian

Ekonomi Klasik, Ketika Dunia Eropa Melaju Lebih Dulu

Diperbarui: 20 Oktober 2023   11:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ekonomi Klasik mengenal Teori Merkantilisme. Perkembangan merkantilisme terjadi saat negara menjadi faktor dominan dalam perdagangan antar bangsa. Merkantilisme membawa pada ekspansi, eksplorasi, dan akhirnya kolonisasi oleh negara-negara kuat ke berbagai wilayah di Asia, Amerika, Afrika, bahkan Australia.

Kemudian muncul Ekonomi Klasik yang memunculkan pemikir seperti Adam Smith (1723 - 1790), David Ricardo (1772 -- 1823), dan Thomas Robert Malthus (1766 -- 1834). Peran negara dikesampingkan, peran pasar bebas dikemukakan ke depan. Penentuan harga diserahkan kepada mekanisme pasar. Pasar akan menentukan harga yang pas, sesuai dengan permintaan dan penawaran yang relatif terbuka untuk perubahan secara elastis. Pemerintah diminta untuk tidak melakukan intervensi terhadap pasar. Peran negara dibatasi sebagai regulator, serta menjaga stabilitas pertahanan dan keamanan. Maka kata kunci efisiensi menjadi penting. Para produsen diharapkan dapat melakukan efisiensi sehingga barang atau jasa yang dijual dapat dijual di pasar dengan harga yang terjangkau oleh konsumen. Produsen yang tidak efisien, harga jualnya mahal, maka akan ditinggalkan oleh konsumen. Walaupun pada jaman sekarang, konsumen membeli bukan karena harga, banyak faktor-faktor lain yang menyebabkan seseorang mengkonsumsi barang atau jasa tertentu. Seseorang yang baru saja naik pangkat menjadi kepala wilayah distribusi, misalnya, maka ia meningkatkan konsumsi jasa tukang cukurnya. Biasanya bercukur ke tukang cukur di kompleks rumah, seharga Rp. 20.000,- karena punya jabatan baru, maka gengsinya mengemuka. Ia akan membeli jasa salon cukur rambut yang harganya Rp. 200.000,-

Emas, Perak dan logam mulya lainnya menjadi standar penting pada masa ekonomi merkantilisme. Menjadi jaminan negara dalam mencetak uang dan kegiatan ekonoomi lainnya.

David Ricardo mengemukakan teori keunggulan komparatif. Ketika perekonomian berkembang, maka setiap produsen akan mempertimbangkan barang atau jasa apa saja yang pantas diproduksi. Agar mampu menembus pasar. Janganlah memproduksi barang atau jasa yang ceruk pasarnya sudah sempit. Persaingan sengit. Semisal di industri konfeksi pakaian. Negara seperti Bangladesh memiliki keunggulan komparatif di bidang tersebut. Maka jika mau menyaingi Bangladesh, harus mempertimbangkan berbagai hal secara serius. Indonesia sebagai negara, memiliki keunggulan komparatif pada beberapa hal. Keunggulan tersebut harus dikelola dengan bijak, sehingga mampu untuk berkembang secara ekonomi.

Robert Maltus mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduk. Jika pertumbuhan penduduk tidak dibatasi, maka akan terjadi kelaparan. Kemampuan manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, sehingga manusia dapat melakukan rekayasa genetika dan kegiatan-kegiatan lainnya, sehingga jumlah penduduk melaju, tetapi tidak kelaparan. Rekayasa bidang pangan berkembang. Makanan buatan rekayasa genetika muncul dimana-mana, bahkan mungkin sudah kita konsumsi saat ini. Manusia bisa membuat daging tidak dari hewan. Mereka membuat daging di laboratorium. Kenyataan menyebutkan bahwa pembunuh manusia nomor satu adalah karena gula (diabetes), bukan karena kelaparan. Menurut data katadata.co.id, penyebab kematian terbesar manusia Indonesia adalah stroke, jantung, diabetes, TBC, sirosis hati, paru-paru kronis, diare, hipertensi, infeksi saluran pernafasan, dan neo natal.  Sedangkan menurut data WHO (2022), penyebab kematian terbesar dunia adalah karena: jantung, stroke, penyakit obstruktif kronis/kesulitan bernafas jangka panjang, infeksi saluran pernafasan, neonatal, kanker pernafasan, alzheimer dan demensia, diare, diabetes, dan ginjal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline