Tanggal 25 Desember 2019 saya pergi ke Malaysia, untuk menyerahkan souvenir magang, dari Departemen terkait ke Indonesian Embassy di Kuala Lumpur.
Perjalanan udara agak tertunda, karena hujan deras di Cengkareng. Sesudah mereda, pesawat meluncur ke udara.
Suasana pesawat cukup ramai, oleh para pelancong keluarga dan pebisnis serta jenis penumpang lainnya.
Imigresen staf bertanya, liburan? pulang kembali kapan? dengan teliti dan serius.
Kondisi cukup ramai, setelah sebelumnya dilenakan dengan banyaknya penjual di lorong antara pesawat dan bagasi,ditambah lagi adanya kereta api antar bandara yang menambah panjang cuci mata.
Keluar dari bagasi, tersasar ke lantai 2, ada Food Garden. Berbagai makanan tersedia disini. Makan dulu, nasi Padang produk negara bagian Negeri Sembilan, dan Cendol.
Sesudah kenyang, lalu turun satu lantai. Stasiun KLIA Ekspress. Sesuai petunjuk mas Gugel, harus pesan tiket ke KL Sentral. Seharga 55 Ringgit.
Naiklah beta di Platform A, sampai ke tujuan. KL Sentral. Dari sana berpusing-pusing mencari transportasi ke Bukit Bintang. Setelah bertanya dan melihat papan tanda-tanda (sign board), ternyata harus pakai monorel. Naik monorel bayar 2,5 ringgit.
Turun di Bukit Bintang, bertanya tanya tentang lokasi. Seorang encik penjual makanan mengatakan bahwa lokasinya di belakang Berjaya Times Square. Maka sayapun kembali naik Monorel, turun di stasiun Imbi.
Dari Stasiun Imbi, kembali saya bertanya tanya tentang lokasi. Ada satu fakta, ternyata bahwa lokasi di google map, berbeda dengan di kenyataan. Sehingga lama juga harus berjalan kaki. Keringatan, Alhamdulillah olahraga sedikit.
Fakta lainnya adalah, orang orang Malaysia tidak paham peta, bahkan di satu kesempatan, karena kecapaian, saya berhenti di Restoran Ali yang dikelola muslim keturunan India. Beli kelapa 5 Ringgit. Ngobrol sebentar dengan pelayan warung, tanya alamat, dan numpang akses WiFi. Ternyata tidak tahu juga, padahal nama jalannya sama, beda nomor saja. Lalu saya tanya ceria hotel, yang ada di peta, katanya dekat dengan lokasi. Kasir menunjukkan arahnya, ternyata Prescott Hotel ada di jajaran lokasi menuju Ceria Hotel. Walah...
Sesudah sampai ke hotel, temui resepsionis sambil berikan tanda lunas dari Traveloka. Dia minta tourism tax 10 Ringgit, dan jaminan 50 Ringgit. Setelah itu diberi kunci kamar lantai 2.
Ruangannya cukup cozy, dengan perlengkapan minimalis, sesuai harga lah...
Malamnya, setelah mandi dan istirahat, saya cari money changer lalu makan malam di kedai India Muslim' Malaysia. Nasigoreng Patayya plus ayam goreng. Ayam gorengnya khas warna merah, kebanyakan bumbu. Nasigoreng nya tertutup oleh telur dadar menutup nasi. Minumnya es limau. Kenyang deh.
Malam istirahat, untuk persiapan besoknya. Menurut jadwal, makan tersedia pukul 7 waktu Malaysia (pukul 6 pagi waktu WIB). Ternyata telat, staf mirip bule atau India itu barubaru datang setengah delapan lebih. Makan sekedarnya, lalu pesan grab ke KBRI. Harganya 9 Ringgit.
Kalau jalan kaki, menurut Google, hanya 18 menit. Tetapi menimbang waktu dan hemat tenaga, saya pesan Grab Car saja. Dan ternyata masih tutup untuk kunjungan. Dibuka buat yang urus Visa dari pagi.
Jam 9 baru masuk, bertemu pejabat yang berwenang, lalu kembali mencari transportasi ke bandara. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 10 kurang, saya cari Teksi dengan Argo. Bayar 110 Ringgit. Karena uang Ringgit saya tersisa hanya 106 Ringgit. Saya tambahkan 100.000 IDR. Abang Teksinya terima, buat kenangan katanya.
Sepanjang jalan ia cerita tentang politik Malaysia. Dimulai dari isi petrol di SPBU Petron, yang katanya milik anak Mahathir. Sepanjang jalan bicara tentang tokoh komunis dengan abunya serta interpretasi yang berkembang. Tentang Sumpah Nadjib di masjid, tentang Anwar yang tersandung kes liwath episode ketiga, isu tulisan Jawi, isu Haji kedua Umroh kedua yang berlipat, karena Menteri Keuangan nya Lim Guan Eng, dan sebagainya dan sebagainya.