Lihat ke Halaman Asli

Giwangkara7

Perjalanan menuju keabadian

Post Power Syndrom dan Proletar

Diperbarui: 5 Februari 2019   17:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagi yang pernah menjadi pimpinan, kemudian dia turun jabatan, siap-siap dengan penyakit post power syndrom. Penyakit perasaan.

Bagi yang pernah mondok, lalu tidak pernah diangkat menjadi pemimpin di level apapun, (atau mungkin pernah satu saat jadi ketua level rendahan saja) maka mereka disebut oleh teman-temannya dengan nada bercanda sebagai kaum proletar.

Kaum proletar menyadari dirinya sendiri. Tidak diangkat oleh para ustadz pengarah sebagai pemimpin, karena memiliki sesuatu hal yang menyebabkannya tidak diberi amanah kepemimpinan.

Para ustadz juga memberi arahan penyemangat bahwa setiap diri adalah hakikatnya pemimpin, dan memiliki tanggung jawab terhadap kepemimpinan yang dia emban. Minimal kepemimpinan terhadap diri sendiri.

Maka di pesantren, kaum proletar bukan golongan tanpa tujuan. Tanyalah mereka, mereka memiliki azzam, tujuan hidup yang pasti dan setiap langkah dikhidmatkan untuk mencapai tujuannya tersebut.

Misalnya penghobby baca buku, peminat bahasa Arab, peminat bahasa Inggris, peminat "body building", peminat orasi, peminat seni kaligrafi, peminat seni peran, dan sebagainya.

Memang pesantren modern merupakan kawah pengkaderan umat Islam. Tidak ada satu kejadian atau aktifitas apapun, kecuali mengandung nilai tarbiyah/pendidikan bagi para santrinya, dengan para ustadz yang senantiasa ikhlash dan sami'na wa atho'na kepada pimpinan pesantren.

Para pemimpin yang turun dan kemudian menderita post power syndrom kemudian akan sembuh. Kesembuhan ini memerlukan waktu yang berbeda-beda. Tergantung tingkat keinsyafannya menerima garis hidup.

Beberapa bisa bermetamorfosa menjadi pribadi baru yang berbeda. Misalnya menekuni ilmu akhirat, menekuni olahraga, menekuni hobby masa muda atau hobby baru, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang positif. 

Kalau pesantren model tradisional yang dikelola oleh Nahdhiyin, tentu saja bermanfaat dan berguna, namun saya tidak begitu memahami sistem nilai yang mereka genggam, dengan kuantitas dan kualitas yang lebih beragam.

Memimpin pada saat ini adalah mengawal perubahan. Para kaum baby boomer, generasi X, generasi Y, generasi Z, lama kelamaan akan musnah (punah) :) dari roda organisasi. Saatnya kaum milenial menggenggam dunia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline