Lihat ke Halaman Asli

Giwangkara7

Perjalanan menuju keabadian

Palu, Bersihkan Pantai!

Diperbarui: 2 April 2018   20:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari ini saya pertama kali menginjakkan kaki di kota Palu. Dengan menaiki pesawat L dari Cengkareng. Penerbangan pagi. Lion Air sedang bersukacita, karena termasuk pesawat dengan ketepatan waktu nomor dua di Asia Tenggara (Untuk saudaranya, Batik Air). Berita itu ada di Majalah Resmi nya. Nomor satu adalah Singapore Airlines. Selamat !. Sayang yaa. counter untuk penerebangan pagi selalu saja penuh sesak. Apa ada cara lain untuk mengurangi antrian? 

Pesawat berangkat pukul lima pagi. dan sampai di Bandara SIS Saleh Aljufri pada jam 8 -an. Kami disambut oleh panitia dari Universitas Tadulako. Kemudian diarahkan ke hotel Mercure, yang ada di pinggir pantai. Sepanjang perjalanan saya amati kota ini masih bersahaja. Banyak bangunan yang masih belum tertata rapi, masih beragam gaya dan corak, Di antara pegunungan dan laut, Palu merupakan kota yang indah, walaupun udaranya cukup panas. Saya jadi teringat Wellington, kota di pinggir laut berbukit yang tertata dengan rapi, bahkan memiliki lift ke bukit dan ada botni garden. Kalau ditata dengan baik, jadi wisata alam yang khas. Modal untuk maju ada antara lain pada leadership. Mudah-mudahan Pasha Ungu bisa berkreasi dan inovasi di kota ini, bukan sekedar memamerkan gaya rambut saja ( hahaha).

Orang Palu dari suku bukan Bugis, kata pemandu dari Untad, mereka kebanyakan dari suku Kaili. Menurut berita wiki, ada 15 etnisitas besar di Sulawesi Tengah. 

Setelah masuk hotel, kami mengurus administrasi yang diperlukan. Karena acara baru berlangsung besok hari, hari ini belum ada makanan di hotel bagi acara. Maka saya bersama teman senasib dari Universitas Muhammadiyah Tangerang berjalan-jalan mencari makanan. Ada beberapa restoran yang menjual ikan bakar siang ini. Tetapi harus menunggu agak lama. Karena perut sudah lapar karena berangkat pagi, kita berjalan terus dan menemukan warung kecil berlabel Jember. Langsung saja kita masuk kesana. Mencicipi Nasi Ayam seharga limabelas ribuan. Setelah itu kembali ke hotel.

Hari menjelang sore, saya berjalan-jalan ke depan hotel. Di samping Mercure juga ada hotel lain, namanya Grand Duta. Di pinggir pantai yang di beton, terdapat ibu-ibu menjual makanan dengan tungku api, seperti penjual serabi. Ternyata itu adalah penjualan ranggi. Dibuat dari kelapa parut, dengan cara masak sama dengan serabi. Kemudian di beri gula merah, dan ada juga dengan "topping" olahan ikan. 

Saat menengok ke bawah, di bibir pantai. Ternyata banyak sekali sampah di sana. Sangat disayangkan. Sementara di Jakarta pencemaran sudah begitu parah, disini alam yang indah tidak terurus. Cebu, Filipina setahun yang lalu, banyak membanggakan diri dengan suvenir yang berasal dari barang-barang bekas dan olahan daur ulang. Kita di Indonesia dengan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang lebih banyak, semestinya mampu untuk berbuat dan menata pantai menjadi lebih baik.

Ayo Palu, jadilah destinasi wisata yang bermartabat. 

Untuk menjadi lebih  baik, kadang tidak perlu pemerintahan yang berbuat. Saat ini masyarakat-pun bisa berbuat untuk tanah tumpah darahnya. Seperti dilihat dari Facebook "NAS DAILY". Afrika tak semuanya miskin, Palestina juga ada sebuah kawasan yang dibangun oleh seorang swasta dengan "kegilaannya". Membuat sebuah kawasan ramah pendidikan dan layak huni bagi bangsa Palestina. Pembangunan Palu juga bisa seperti itu, ketika pemerintah kurang perhatian, masyarakat bisa mulai memunguti sampah pantai, dan mengedukasi turis atau masyarakat lainnya untuk maju.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline