Negara Cina yang dimusuhi oleh para haters, memiliki pola belanja yang lebih menguntungkan kedua belah pihak. Seorang teman di medsos menampilkan foto buah-buahan segar di suatu pasar di kota Wuhan, Provinsi Hubei. Kalimat pengantarnya mmerupakan opini pribadinya yang menyatakan keheranannya, kenapa buah-buahan dari Cina di Indonesia suka jelek-jelek, menurut anggapan umumnya dia dengar, sedangkan selama dia tinggal disana, ia selalu menemukan bahwa buah-buahan di pasar selalu berkualitas tinggi.
Apakah yang baik untuk konsumsi sendiri, dan yang jelek di ekspor? Demikian pula pakaian penduduk Wuhan. Mereka cenderung memiliki standar yang tinggi, tetapi kenapa kualitas yang di ekspor seringkali jelek? Mungkinkan fenomena ini umum terjadi? atau hanya kejadian sebagian kecil saja?.
Dari foto ini juga dijelaskan bagaimana transaksi sudah menggunakan "barcode" saja. Tinggal scan barcode yang ada di pasar tradisional, maka transaksi sudah terjadi. Instal aplikasi ALI***.
Di Kita? Jakarta saja masih belum punya standar jual beli online yang saling menguntungkan.
Saya akan bercerita tentang membeli makanan via OJOL. Caranya mudah dan praktis, tinggal klik maka makanan akan datang. Tapi praktiknya ternyata lain lagi. Karena hujan rintik-rintik dan mungkin faktor lainnya, dua OJOL yang sudah menyanggupi akan membelikan makanan buat saya meng-cancel- orderan. Pengemudi ketiga lebih aktif menanyakan lokasi yang saya tidak tahu :). Namun dengan kegigihannya akhirnya dia bisa menemukan lokasinya.
Lokasi ternyata menjadi satu masalah lain. Titik lokasi di aplikasi dengan titik lokasi yang sebenarnya ternyata berbeda jauh. Penempatan lokasi menurut Google ternyata tidak akurat. Itu masalah sendiri dalam berbisnis dengan menggunakan penanda lokasi asing. Mungkin jika biayanya lebih murah, lebih baik pengusaha pribumi punya aplikasi peta yang lebih akurat. Jangan mengandakan orang Amerika Serikat sana.
Masalah selanjutnya adalah pesanan makanan. Ternyata provider makanan menyatakan makanan yang saya pesan tidak ada. Yang ada adalah makanan lain yang harganya lebih mahal. Waduh!. Karena lapar ya sudah dibeli aja. Harga beli naik jadi hampir dua kali lipat.
Kejujuran penjual masih menjadi masalah yang merugikan konsumen. Jika makanan tidak ada, kenapa harus disebut ada! Perlu ada mekanisme untuk itu, walaupun si penjual ngasih saya hadiah free minuman huahahaha. Coba kalau saya batalkan order karena uang saya tidak cukup, kan kasihan buat abang OJOL nya yang sudah berjuang membelikan makanan.
Perlu ada perbaikan relasi penjual, pembeli, perantara, maupun sistem pembayaran. Agar hidup lebih efisien.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H