Hari ini aku mengunjungi sekolah berkelas di ujung Jakarta. Sekolah ini sudah memiliki reputasi yang cukup bagus. Direkturnya pernah menjadi Direktur di Sekolah bertaraf Internasional. Lalu ia boyongan untuk membuka sekolah ini. Tidak semua orang bisa sekolah disini. Kecual mampu membayar SPP yang diatas rata-rata. Eh ada juga sih CSR di sekolah ini. Beberapa dari kalangan tidak mampu bersekolah disini, itulah mereka yang bekerja disini. Kedatanganku untuk menjemput para mahasiswa yang magang disini. Magang untuk mempelajari budaya sekolah.
Tentu saja budayanya berbeda dengan sekolah swasta Islam biasa atau sekolah negeri biasa. Disini ada sekolah nasional, sekolah yang jalur cepat, dan sekolah jalur internasional. Gaji gurunya cukup. Sehingga tidak kepikiran lagi untuk mengajar disana sini. Mungkin pula gurunya tidak terlalu mempermasalahkan untuk sertifikasi dan cari tambahan sana-sini.
Dua minggu waktu yang cukup singkat untuk mengenal budaya sekolah ini. Tetapi itulah waktu yang diperlukan dan tersedia dalam kalender akademik mahasiswa. Mereka mengobservasi sekolah model nasional yang ada disini. Pada jenjang SMA. Mayoritas mereka adalah etnis keturunan. Bergaul dan bertutur sapa yang ramah. Tidak ada cium tangan, cukup sapaan "Hai, hello....." Perbedaan dihargai. Ada kegiatan Berdoa Pagi. Dengan bahasa doa yang universal. Dengan Tuhan masing-masing.
Setelah Agustusan mereka sedang sibuk untuk menyiapkan akreditasi. Akreditasi yang berbeda dengan sekolah biasa. SPK. Saya mangut-mangut saja mendengar penjelasan guru disana. Ternyata SPK adalah singkatan Satuan Pendidikan Kerjasama. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.31/2014. Mereka pun memiliki perhimpunannya sendiri di bawah Perkumpulan Sekolah SPK Indonesia. Dengan standar ini maka ketika menyelenggarakan pendidikan, mereka dievaluasi sebagai suatu kesatuan. SPK adalah nama lain dari jenjang sekolah yang memiliki standar internasional. Mereka diatur oleh pemerintah melalui Permen diatas. Sehingga tidak melupakan jatidiri sebagai bagian dari sistem pendidikan Indonesia. Meskipun demikian tren untuk menyekolahkan anak di SPK saat ini cenderung meningkat. Seperti dibahas di Kompas (DI SINI).
Anak-anak memiliki pengalaman dan bekal yang berbeda dengan mereka yang magang di sekolah lain. Pengalaman itu yang tidak ada nilainya. Semoga mereka memiliki bekal lebih untuk menapaki jalan sebagai calon guru di masa depan. Bahwa tidak semua sistem pendidikan yang menawarkan biaya yang cukup mahal dapat menawarkan kepuasan batiniah yang layak bagi para guru. Bahwa kepuasan mengajar adalah berkorelasi dengan kepuasan batin sebagai pendidik. Yaa pendidik... bukan sekedar pengajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H