Lihat ke Halaman Asli

Giwangkara7

Perjalanan menuju keabadian

Keinginanmu Pangkal Penderitaan

Diperbarui: 13 Mei 2016   19:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Begitu syair sang penyanyi legenda Indonesia. Keinginan yang tak puas-puas bisa menjadi sumber penderitaan bagi sang manusia. Ingin bahagia tapi memilih jalan derita, karena begitu rakusnya ingin meraih duniawi. harta tahta dan wanita, harta tahta dan laki-laki, biar gak bias gender :). Karena merasa masih memiliki kekuasaan, maka kekuasaan itu terus menerus digunakan untuk melanggengkan kekuasaannya. Atau paling tidak untuk menambah kepuasan-kepuasan diri dan kelompok pendukungnya. Kekuasaan, harta, wanita/laki/laki semuanya tidaklah abadi. Ada siklus yang akan terus berlangsung. Dunia ini tidak bergerak stabil mendatar, tetapi menggelinding.

Saat terpuruk di ujung keinginan-keinginan yang tidak tercapai, maka saya pun sadar. Apa sebenarnya yang menjadi keinginan hakiki dari diri ini. Makanan enak ada kenyangnya, minuman lezat juga ada batasannya. Rindu wanita untuk hasrat biologis juga ada berhentinya sesuai dengan umur yang ada. Jadi sebenarnya apa keinginan kita ? 

Apakah muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk syurga?. Tentu saja ini adalah ironi. Keinginan dari hawa nafsu kita masing-masing. Semenjak kita baligh, memiliki kewajiban untuk beribadah, maka disitulah keinginan sudah dibatasi. Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku. keinginan Yang Kuasa dalam proses penciptaan kita adalah untuk beribadah kepadaNya, baik secara ritual yang harus dilaksanakan (ibadah mahdhah) ataupun ibadah sosial yang dilakukan saat bersinggungan dengan semua penghuni semesta. 

Jakarta adalah contoh sempurna untuk itu. Ada manusia yang merangkak menuju sukses, dan ada juga yang sedang menuju kebangkrutan secara merangkak tertatih-tatih. Tak ada yang abadi. Aku, dan mungkin anda, adalah pelakunya. Seorang korban juggernaut yang terus menerus melindas kehormatan dirinya demi mengabdi kepada metropolitan yang buas. 

Selalu ada pilihan, selalu ada keinginan untuk sesuatu, dan juga ketidakinginan untuk sesuatu. Jika keinginan kita membatasi keinginan orang lain, maka itu telah membahayakan kesadaran rohani kita. Musnah sudah jatidiri kita, kita menjadi juggernaut yang tanpa perasaan, melindas apa saja yang dilewatinya dengan ganas. Kemanusiaan kota besar menelan kepribadian kita.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline