Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Kecuali dengan kehendak-Nya. Manusia hanya berusaha sekeras-kerasnya dan ada faktor X yang paling menentukan. Itulah yang diluar kehendak manusia. Kalau berkehendak untuk pergi ke suatu tempat, pasti berawal dari satu starting point. Titik awal itu haruslah baik, karena akan menjadi jalan kebaikan juga nantinya. Oleh karena itu, maka manusia harus utamakan keselamatan. Jalan Tuhan yang utama. Mana-mana yang menjadi kehendak Tuhan dan perintah Tuhan harus kita utamakan. Bagaimana kita mau dimulyakan Tuhan kalau kita sendiri mengabaikan kehadiran Dia dalam hari-hari kehidupan kita. Lupa akan diri-Nya.
Itulah pilihan-pilihan hidup manusia. Jalan yang abu-abu banyak. Jalan yang hitam putih jelas. Tinggal kemauan kita mau memilih jalan yang mana. Titik awal adalah pilihan. Apakah setelah sholat atau melewatkan waktu sholat. Tidak ada yang salah dengan keduanya. Hanya kalau kita mendekatiNya maka akan terasa lebih aman dan nyaman dalam perjalanan. Sedangkan kalau kita tidak sejalan maka akan terasa seperti ada ganjalan di hati. Untuk utamakan keselamatan maka akan ada harga yang harus dibayar. Mungkin tidak akan memperoleh balasan secara langsung, namun inilah kehidupan manusia yang bukan sekedar jual beli "cash", ada uang ada barang, atau ada perbuatan maka ada pahala/balasan.
Selama ini kita kadang meninggalkan Tuhan ada di masjid-masjid saja atau di Gereja, Kuil, Vihara maupun sinagog. Ketika kita bekerja, kita tidak bertuhan. Bertindak tidak manusiawi, saling sikut, saling hantam, bahkan saling telikung sesama makhluk Tuhan yang beragama. Kita lakukan perbuatan-perbuatan yang tidak mencerminkan keberadaan Tuhan di dalam diri kita. Kita l;ihat kemajuan di Jepang, Korea Selatan, maupun Cina yang mengandalkan iptek, tetapi mereka lupa akan spiritualitas terdalam. Akhirnya banyak yang terganggu kejiwaannya. Apalagi di Barat sana. Masyarakat Indonesia yang beragama hendaknya tidak melupakan akar agama, yang juga terikta dengan budayanya. Kalau tidak, maka kita akan mengalami masa ilmu jadi agung, dan agama tersisih jadi urusan privat. Perlu ada kekokohan nilai agama dalam keseharian, yang terbungkus oleh budaya bangsa yang spiritualis.
Perenungan-perenungan manusia akan menjadi mahal, apabila kita manusia selalu berfokus kepada yang duniawi semata. Terjadi persaingan-persaingan dan memecah belah kemanusiaan menjadi sesuatu yang murahan. Oleh karena itu utamakan selamat, jangan terburu-buru. Ketertiban umum dimulai dari ketertiban pribadi. Bagi saya dan anda yang memakai sepeda motor di Jakarta pasti merasakan, bagaimana situasi psikologis di "lampu merah". Kalau ada yang nyelonong satu melintasi yang dilarang, maka akan memicu yang lainnya untuk meniru. Tetapi jika para motorist tersebut pribadi-pribadi bertuhan paripurna, maka akan memicu ketertiban dan kepatuhan terhadap "lampu". Tertib berlalu lintas konon merupakan gambaran dari masyarakat. Jika di Jakarta orang sering menabrak pakem berlalulintas, dengan demikian maka dapat diperkirakan bahwa aturan-aturan bermasyarakat juga sering dilanggar oleh kita penduduk Jakarta. Kalau bisa cepat dengan jalan pintas, kenapa harus jalan umum dans eterusnya dan seterusnya.
Utamakan selamat dilaksanakan karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Kadang-kadang kita ngeri, bagaimana tiba-tiba seseorang harus meninggalkan anak istrinya menjadi yatim dan janda, karena kecerobohan yang disengajakan. Sudah tahu ramai kok malah ngebut. Apakah tidak ada jalan lainnya? Bahkan seseorang yang saya kenal bisa meninggal karena "menikmati hidup". Mengendarai motor sambil mendengarkan musik di headset. Tidak mendengar bunyi tronton memberikan klakson peringatan, hidup harus berakhir di jalanan Tangerang. Jadi utamakan selamat, jangan buat keinginan diri yang utama, karena akan membentur dinding pembatas yang invicible. Wallahu a'lam bishowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H