Lihat ke Halaman Asli

Giwangkara7

Perjalanan menuju keabadian

Tujuhbelasan ala 1980-an di kampung : Jampana

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masa terindah peringatan tujuh belasan adalah pada masa kecil. Ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, tepatnya madrasah ibtidaiyah. Pada masa itu, tahun 1980-an semua orang dikampung serempak mengadakan perayaan tujuh belas agustus. Pagar-pagar rumah yang terbuat dari bambu dicat dengan warna putih, atau warna merah dan putih. Setiap rumah mengibarkan bendera merah putih di depan rumahnya. Sebagian lagi menghiasi halaman rumah dengan kertas merah dan putih yang direntangkan menggunakan benang.

Pagi-pagi buta kami bersiap untuk mengikuti upacara bendera di halaman balai desa. Berbaris dari halaman sekolah dipimpin oleh Bapak-bapak guru, dengan seragam kebanggaan sekolah kami, putih hijau. Para pemuda dan kaum bapak juga ikut sibuk menyambut perayaan ini. Mereka membuat Jampana, yaitu semacam rumah-rumahan dari bambu, yang dihiasi dengan hasil bumi seperti kacang panjang, padi, ketupat, nasi tumpeng, dan bermacam-macam kue tradisional. Entah darimana istilahnya, tetapi Jampana inilah yang menjadi maskot pada kegiatan upacara tujuh belasan.

Jampana dari tiap RW biasanya berbeda-beda isinya. Ada yang berisi kue-kue, nasi tumpeng, sayuran, buah-buahan dan sebagainya. Setelah upacara bendera berakhir, masyarakat ramai-ramai menyerbu Jampana untuk mengambil makanan yang ada. Sebelumnya Jampana tersebut dinilai oleh Panitia untuk memperoleh gelar 'Jampana terbaik tahun ini'.

Di lapangan depan balai desa, kami berbaris bersama dengan siswa dari SD Negeri, Para Pemuda Karang Taruna, Ibu-ibu aktivis PKK, Perangkat Desa, Veteran, dan golongan lainnya. Biasanya yang mengikuti upacara ini adalah kumpulan warga dari tiga desa yang berdekatan, sehingga cukup ramai kegiatannya. Para pedagang dan pedagang dadakan bermunculan meramaikan situasi.

Setelah upacara bendera, rebutan makanan dari Jampana, maka mulai diadakan beberapa atraksi seperti pencak silat, lomba balap karung, panjat pinang, lomba sepak bola para ibu, lari sambil membawa kelereng di sendok yang digigit dimulut, dan berbagai lomba lainnya yang pada intinya adalah untuk kesenangan semata. Semua senang, semua tertawa. Inilah suasana tujuhbelasan dikampung di pedesaan Kabupaten Bandung di Jawa Barat. Melupakan sejenak represi kebebasan berpolitik dari rejim Soeharto yang sampai ke desa melalui pengawasan Babinsa dan rekan-rekannya.

Setelah menginjak bangku SMP dan seterusnya sampai kini, rasanya kebahagiaan tujuhbelasan sudah berubah warna. Cenderung lebih serius atau bahkan menghindar. Pertanyaan-pertanyaan tentang kemerdekaan yang belum terjawab masih terngiang ditelinga; Apakah kita sudah benar-benar merdeka? Apakah amanat para pendiri bangsa sudah benar-benar kita lanjutkan? Apakah bangsa ini benar-benar berdaulat secara ekonomi, politik, ideologi, sosial, budaya dan keamanan? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul seketika, ketika melihat selebrasi tujuhbelasan pemerintah yang diliput berbagai media massa. Inginnya memandang positif, tapi yang muncul di kepala pertanyaan-pertanyaan sinis. Hiruk pikuk Presiden, Antasari, KPK, Kapolri, DPR, partai politik, media massa, hutan yang semakin berkurang, warisan adat dan budaya yang terlantar, bahasa yang makin kurang dihargai, dan persoalan nasional lainnya membuat kebanggaan sebagai bagian dari bangsa sedikit menyurut...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline