Pesantren kami telah roboh
bangunannya masih utuh
namun jiwa-jiwanya telah melepuh
tergerus oleh jaman dan kepandiran penerus
ajaran agama ditafsirkan sesuai keinginan nafsu belaka
menindas saudara demi kelobaan ketamakan duniawi
Pesantren kami telah runtuh
sedikit demi sedikit menjauh
dari hakikat kejatidiriannya
karena nafsu serakah
yang menceraiberaikan persaudaraan para penerus
ilmu agama kami miliki cukup dalam
namun kami jadikan alat untuk membodohi umat yang taklid
Pesantren kami adalah pesantren sederhana
yang dikelola dengan manajemen nrimo
tak pernah berusaha mencari santri
hanya ada masjid dan kobong tempat santri menginap
siapa hendak menyantri silahkan datang
tidak ada seleksi juga kenaikan kelas
juga tidak ada jadwal kelas yang jelas
berjalan searah angin
ketika pembangunan merambah desa, semua orang ingin sekolah
pesantren kami pun ditinggalkan
karena tak memberi ijasah
Saat kyai pesantren kami wafat
anak menantu bertengkar memperebutkan
pepesan kosong
anak dan menantu bertengkar
cucu cucu ikut berdebat
cicit-cicit saling bermusuhan
santri-santri alumni melihat dengan cemas dari jauh
maka robohlah kepercayaan masyarakat
robohlah pesantren kami
robohlah tembok amanah itu
karena nafsu serakah dan jiwa yang kerdil
karena pengelolaan yang tanpa arah
karena terbujuk nafsu dunia
karena kami… tidak mampu memegang amanah
Kami berkumpul di hari lebaran
Di depan pusara pendiri pesantren
berdoa bersama, bersalaman, lalu pulang dengan membawa ego masing-masing
kami bersaudara, namun tidak bersaudara
kami saling tersenyum, namun hati saling membenci
Tuhan, ampuni kami
robohnya pesantren kami, jangan sampai merobohkan keimanan hakiki kami, mencerai-beraikan persaudaraan kami…
(Wuchang, 8 Agustus 2012 pukul 07.15 Waktu Beijing)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H