Lihat ke Halaman Asli

Giwangkara7

Perjalanan menuju keabadian

The End of Angkot

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Kematian angkutan kota (angkot) sudah diramal oleh Basuki Tjahaya Purnama, Wakil Gubernur DKI Jakarta. Hari ini saya baru benar-benar memahami dan melahap kebenaran ramalan itu. Teringat pula kehidupan berapa tahun yang lalu di pulau Dewata. Angkot disana sudah tidak memiliki rute lagi. Tergantung adanya penumpang dan mau kemana penumpang. Angkot sudah mati di Bali. Yang ada adalah motor, mobil sewaan, dan taksi untuk jarak pendek sepuluh duapuluh ribu masih mau angkut penumpang.

Beberapa bus sedang sudah milih-milih jam operasinya. Seperti yang ditato angka 76, lebih aktif di pagi hari saja sampai ke Blok M. Dimalam hari ia lebih malas, kebanyakan hanya menunggu di perempatan Fatmawati, masuk tol, lalu pergi kembali ke tempat mangkal semula. Pagi hari penumpang ditumpuk bagaikan ikan asin, demikian pula disore hari. Siang sepi, dan agak rawan karena banyaknya pengamen dengan nada sedikit memaksa. Bis sedang lainnya dengan jalur trayek yang lebih sepi, sering berhenti di tengah jalan. Mengoperkan penumpang ke bus lain yang ada di belakangnya. Karena perjalanan kurang prospek.

Angkot yang lebih kecil juga seperti itu. Apalagi yang bermerk KWK. Potensi permotoran yang tidak terkendali mengurangi jatah masukan mereka. Seharusnya Cililitan - Centex - via Terminal Kampung Rambutan, praktiknya hanya melayani jalur-jalur pendek saja. Jalan Baru - Kampus FKIP Uhamka - RS Harapan Bunda. Demikian bolak balik setiap pagi, siang dan sore hari. Maka angkot memang akan mati, motor tambah banyak, mobil pribadi tambah banyak, dan kemacetan semakin merajalela. Suatu saat, kita akan keluar dari gerbang rumah kita dan menemukan kemacetan... mungkin sekali seperti itu. Dibutuhkan pemimpin negara, pemimpin kota dan jenis lainnya yang visioner dalam mengelola transportasi umum.

Jakarta memang katanya kejam, lebih kejam dari ibu tiri. Kalau mau murah... yaa harus desak-desakan dan pada waktu yang tepat. Terlambat sedikit sudah harus ganti moda kendaraan dan biaya mahal. Dibeberapa ruas jalan, angkot dibatasi oleh tukang ojek. Seperti di daerah tempat tinggal saya yang baru, jika sudah jam sembilan malam, maka angkot dilarang masuk. Orang harus pakai ojek, mereka bergerombol di ujung jalan, melototin angkot yang melanggar "jam malam". Inilah Jakarta bung !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline