Halo, Indonesia!
Nama saya Ratih, seorang pendidik pemula berkualifikasi sebagai dosen muda di sebuah universitas negeri di Bali. Salah satu profil lulusan di universitas kami adalah guru pada bidang tertentu. Khususnya di jurusan saya, yang memang mencetak pendidik matematika, walaupun tidak menutup kemungkinan jika lulusan bekerja di bidang lain.
Menjadi pendidik bagi seorang calon pendidik tentunya bukan hal yang sepele. Apa yang kita budayakan di kelas, itulah yang membudaya nantinya bagi para lulusan yang notabene akan menjadi pendidik masa depan.
Anggaplah dalam satu semester saya mengajar satu angkatan yang isinya 100 orang dan asumsikan seluruhnya menjadi guru nantinya. Setiap guru ini nantinya akan mengajar, anggaplah dalam 7 kelas setiap tahunnya dan dalam 1 kelas anggaplah ada 30 orang siswa. Bayangkan akan ada berapa siswa, generasi muda kita, yang akan berhadapan dengan lulusan-lulusan yang salah satunya pernah saya ajar dalam kelas kecil saya.
Jika tidak hati-hati, bayangkan berapa banyak anak Indonesia yang akan mendapat pendidikan yang tidak maksimal.
Apalagi kalau kita bicara kompetensi guru, tidaklah cukup hanya isi otaknya. Kembali merujuk pada isi Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dijelaskan pada Pasal 28 ayat 2 bahwa ada empat kompetensi yang harus dimiliki guru, mulai dari untuk jenjang pendidikan anak usia dini, dasar hingga menengah, yang meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi professional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Kompetensi professional berkaitan dengan penguasaan bidang ilmu. Kompetensi pedagogik berbicara tentang keterampilan guru dalam mengajar dengan memperhatikan kondisi anak, kebutuhan anak, kondisi lingkungan dan sebagainya yang disesuaikan dengan teori-teori belajar.
Kompetensi kepribadian adalah tentang bagaimana seorang pendidik menjadi teladan bagi peserta didiknya yang ditunjukkan dengan perilaku yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Kompetensi sosial adalah bagaimana pendidik berinteraksi dalam pergaulan sosial dengan peserta didik maupun rekan kerjanya. Dua kompetensi yang pertama dapat dipelajari melalui kegiatan pembelajaran formal. Dua kompetensi terakhir harus dibudayakan. Tidak sekedar penguasaan pengetahuan semata tapi lebih bagaimana pengaplikasiannya. Seperti yang diisyaratkan Tirtarahardja dan Sulo (2005), nilai-nilai dibentuk dalam proses yang lama. Pembentukannya dilakukan melalui pendidikan, tidak cukup hanya dengan pembelajaran.
Dan sebagai pendidiknya calon pendidik, adalah penting bagaimana untuk mentransfer budaya yang baik sehingga nantinya peserta didik ketika menjadi pendidik memiliki bekal yang cukup untuk memenuhi kompetensi yang diperlukan.
Sering saya dengar komentar yang menyatakan bahwa jadi guru itu tidak cukup hanya pintar teori, tapi juga perlu menguasai bagaimana membelajarkan materi tersebut. Lebih lanjut, menjadi guru tidaklah penting seberapa banyak penghargaan yang dikumpulkan selama masih mengikuti pendidikan formal, tapi seberapa banyak siswa yang bisa dibantu untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya penghargaan selama mereka tumbuh dan berkembang.
Kalau boleh lagi saya tambahkan, hal tersebut masih ada yang kurang rasanya jika sebagai guru kita belum bisa menjadi pribadi yang di-gugu dan di-tiru. Oleh karenanya, penting memberikan keteladan. Menginspirasi. Menggugah seseorang untuk menjadi lebih baik untuk kepentingannya sendiri.
Merasa bertanggung jawab untuk membantu mahasiswa saya mencapai kompetensi yang dimaksudkan, saya memang jadi agak-agak cerewet di kelas.