Permasalahan sampah di Indonesia sudah menjadi masalah pelik menahun, yang masih dalam tahap pencarian solusi terbaik untuk penyelesaiannya menuju pengelolaan yang tersistemasi. Kendala terbesar secara umum adalah budaya, yang masih kurang dalam hal kedisiplinan sebagaimana umumnya negara berkembang, yang menyebabkan life cycle dari consumable goods harian masyarakat tidak mengalir dengan baik. Dampak masif dari kebocoran siklus akibat ketidakdisiplinan itu memberikan kerugian kepada masyarakat sendiri, pada akhirnya.
Ditinjau dari segi budaya, penulis beranggapan bahwa tradisionalisme yang membudaya di masyarakat menjadi penghalang terbesar dalam suksesnya pengelolaan sampah optimal di Indonesia. Sebelum membahas lebih jauh, tradisionalisme di sini dimaksudkan kepada sifat yang cenderung "merasa cukup", sehingga tidak ada rasa ingin untuk meningkatkan atau memperbarui kebiasaan yang sudah ada dan sudah berjalan dalam waktu yang lama. Prinsip not in my backyard(NIMBY), menjadi susah dihilangkan. Tanpa adanya dorongan yang sangat kuat dari pihak masyarakat sendiri atau dari pihak luar, masyarakat akan tetap menganut prinsip tersebut dan membuang sampah ke sungai, membakar sampah, atau membuat satu kawasan open-dumpingkomunitasnya sendiri.
Tradisionalisme juga terjadi pada instansi pemerintah, sehingga mengakibatkan sistem regulasi pengelolaan sampah tidak berkembang secara optimal terutama di kota-kota kecil. Padahal, kota-kota kecil dengan timbulan sampah yang masih relatif terkontrol mempunyai banyak kesempatan untuk mengoptimalkan sistem manajemen persampahannya, agar siap menghadapi percepatan pertumbuhan ekonomi setiap saat. Kejelasan regulasi dan badan-badan yang bertanggung jawab mengkoordinir pengelolaan sampah sama pentingnya dengan budaya masyarakat yang kooperatif berpartisipasi.
Meskipun menghadapi halangan budaya dalam pengelolaannya, Indonesia ternyata beruntung, karena di luar lingkupan tradisionalisme yang ada di masyarakat dan pemerintah, beberapa tahun yang lalu di Yogyakarta diperkenalkan sistem Bank Sampah. Bank Sampah bisa dikatakan merupakan opsi terbaik yang ada saat ini, untuk melakukan pengelolaan sampah secara informal yang berbasis partisipasi masyarakat penghasil sampah dengan masyarakat yang berprofesi sebagai pemulung.
Sistem Bank Sampah sebenarnya merupakan pengembangan dari kegiatan loak, namun dilaksanakan secara komunal, yang biasanya dalam skala satu wilayah RT. Hasilnya masyarakat memiliki partisipasi aktif dalam pengelolaan sampah sejak sampah itu dihasilkan. Setiap keluarga melakukan pemilahan sampah (organik, plastik, kaca, kayu, kaleng, dsb.), bahkan membersihkan sampahnya, dengan tujuan meningkatkan harga untuk diloakkan.
Pengurus Bank Sampah selanjutnya mendistribusikan sampah-sampah yang telah dikumpulkan kepada pembeli yang mau dan sanggup mendaur ulang, uang hasil penjualan dibagikan kepada warga sesuai dengan jumlah sampah yang "ditabung" setiap setahun sekali. Cara ini mendapat apresiasi dari masyarakat luas, dan dengan cepat berkembang ke kota-kota besar lain seperti Surabaya dan Bogor. Bahkan banyak peneliti dari luar negeri yang melakukan studi secara langsung, karena feasibilitasnya untuk diterapkan di negara-negara Asia.
Keberhasian Bank Sampah menembus budaya tradisionalisme di masyarakat tidak lain karena "adanya dorongan yang sangat kuat dari pihak masyarakat sendiri atau dari pihak luar", sebagaimana disebutkan di awal tulisan. Dorongan tersebut tidak lain adalah keuntungan berupa uang yang dihasilkan dari partisipasi mengelola sampah untuk dijual. Lebih lanjut, masyarakat mendapat manfaat tambahan berupa bertambahnya kenyamanan tempat tinggal mereka sendiri. Pemerintah pun terbantu karena jumlah timbulan sampah dari daerah yang mengoperasikan Bank Sampah menurun drastis, sehingga dana pengelolaan timbulan sampah dialihkan ke penambahan fasilitas-fasilitas lain di daerah tersebut.
Dari contoh kasus Bank Sampah, dapat diambil kesimpulan bahwa ke-tradisionalisme-an masyarakat tetap memiliki celah, yang jika diarahkan dengan baik akan merubah pola perilaku ke arah yang lebih baik pula. Pemerintah harus mencarikan pilihan-pilihan lain, belajar dari kasus ini, yang dapat menjadi pendorong perilaku partisipatif masyarakat, dibantu oleh masyarakat yang harus meningkatkan kepeduliannya terhadap lingkungan, dan tidak berhenti membuka wawasan baru mengenai pengelolaan lingkungan. Perjalanan menuju pengelolaan sampah yang sistematis masih sangat panjang, karena dalam jangka panjang mau tidak mau fasilitas recycling harus tersedia bersama dengan sistem yang lebih formal, untuk mengatasi laju pertumbuhan penduduk bersama dengan laju timbulan sampah di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H