Dalam menghadapi masa pandemi covid-19, beragam upaya telah dilakukan pemerintah sebagai bentuk respon untuk mengatasi dampak yang telah diakibatkannya. Salah satunya adalah strategi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan keuangan negara dalam rangka stabilitasi sistem keuangan dan solusi untuk keluar dari ancaman yang menggerus perekonomian nasional.
Instrumen penting yang sangat menonjol dibandingkan dengan kondisi sebelum covid-19, adalah ditetapkannya toleransi pelampauan batas defisit anggaran diatas 3% dari Produk Domestik Bruto negara kita. Bahkan pelonggaran terhadap batas defisit anggaran ini, diperbolehkan sampai dengan penyusunan anggaran tahun 2022.
Meningkatnya beban belanja negara sebagai konsekuensi dari besarnya pengalokasian anggaran untuk upaya-upaya penangggulangan covid-19, yang disisi lain tidak diimbangi dengan peningkatan pada sisi penerimaan negara, tentunya berpotensi memperlebar rentang kekurangan terhadap belanja negara (defisit anggaran).
Untuk memperkecil dan menutupi kekurangan anggaran yang ada, pemerintah melakukan beberapa cara dalam mengatasi kondisi tersebut. Salah satu caranya adalah melakukan mobilisasi dana pada pasar keuangan dengan mendorong partisipasi masyarakat baik domestik maupun internasional melalui Surat Utang Negara (SUN).
Apa itu Surat Utang Negara (SUN)
Merujuk pada Undang-Undang No 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (SUN), secara normatif dijelaskan bahwa SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh negara sesuai dengan masa berlakunya.
Dalam konteks praktis, umumnya Surat Utang Negara ini lebih banyak dikenal dengan nama Surat Perbendaharaan Negara (SPN), dan Obligasi Negara (ON). Selain untuk membiayai defisit anggaran, penerbitan SUN juga dilakukan sebagai cara pemerintah memenuhi kebutuhan likuiditas kasnya dalam jangka pendek.
Dalam mekanisme penerbitan SUN, pemerintah sebelumnya wajib mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Bank Indonesia (BI). Disaat investor sudah membeli SUN, maka pada saat itu juga akan timbul kewajiban pemerintah untuk memberikan imbal jasa investasi dalam bentuk kupon dan pelunasan pokok sesuai dengan jangka waktu atau tanggal jatuh tempo yang telah ditetapkan. Kesemua dana pembayaran tersebut bersumber dan disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Perbedaan utama kedua SUN diatas adalah jangka waktunya, Surat Perbendaharaan Negara berjangka waktu sampai dengan dua belas (12) bulan, sedangkan Obligasi Negara (Bonds) memiliki jangka waktu lebih dari dua belas (12) bulan. Selain itu, kedua SUN ini hanya ditawarkan dan dijual kepada investor institusi. Sedangkan bagi investor individu yang tertarik untuk membeli SUN yang ditawarkan, yang tersedia hanyalah Obligasi Negara Ritel (ORI) dan Saving Bonds Ritel (SBR).
Istilah yang cukup familiar, digunakan oleh beberapa negara di dunia terkait dengan penyebutan SPN adalah T-Bills (Treasury Bills), sedangkan Obligasi Negara identik dengan terminologi Bonds. Disamping itu, khusus untuk obligasi negara, selain berdenominasi mata uang rupiah, tersedia juga denominasi mata uang valuta asing (valas).