Pertumbuhan bank syariah di Indonesia kian tahun kian meningkat. Meski demikian total aset industri keuangan syariah masih belum cukup menggembirakan. Dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia yang mampu menembus 10 kali lipatnya. Tentu sedikit aneh mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di Dunia. Market share perbankan syariah pun cukup kecil, belum beranjak dari 5% di usianya yang jelang seperempat abad ini.
Dikenalnya bank syariah di Indonesia, berawal pada 1992 kala Bank Muamalat Indonesia berdiri pertama kalinya. Berlanjut dengan disahkan UU No 21 tentang Perbankan Syariah, berdiri pula Bank Syariah Mandiri di tahun yang sama. Disusul berdiri pula berbagai Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah maupun BPRS setelahnya. Hingga Desember 2016, tercatat 13 Bank Umum Syariah, 21 UUS dan 166 BPRS tersebar di Indonesia. Secara pertumbuhan, angka angka ini tentu positif. Sayangnya masih sangat jauh jika dibandingkan potensi yang ada. Bahkan nasabah bank syariah hanya 18 juta an, kurang dari 10% rakyat negri ini. Itu juga belum dihitung berapa nasabah dengan status tabungan dormant atau tidak aktif.
Perbankan syariah rupanya belum cukup familiar di masyarakat kita. Jangankan ragam istilah, ketentuan dan perhitungan njelimetnya. Overview umum atau perbedaan mendasarnya saja, masih belum cukup jelas di kebanyakan kita. Tidak sedikit penelitian pada skripsi, tesis dan karya tulis lainnya yang membahas soal pengetahuan masyarakat terhadap perbankan syariah. Silahkan kunjungi perpustakaan-perpustakaan kampus yang kini juga turut berlomba-omba membuka program keuangan syariah.
Artikel pendek ini tidak sedang membahas satu per satu produk, akad, maupun perhitungan njelimetperbankan syariah. Bahwa turut membesarkan bank syariah tidak haru menunggu mengerti sepenuhnya semua fatwa DSN. Tidak pula harus menghafal seluruh PSAK tentang perbankan syariah. Tak pula harus hafal setiap jenis produk, akad berikut perhitungan setiap produknya.
Bahwa ada satuhal yang ada di bank syariah namun tak bisa ditemukan pada bank konvensional. Satu hal itu bernama Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat.
Kewajiban Bank Syariah dalam mempublikasikan Laporan Zakat ini sebagaimana pada Peraturan BI No. 14/14/PBI/2012. tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank. Seluruh Bank baik konvensional maupun syariah wajib menyusun Laporan Keuangan Tahunan meliputi:
- Laporan Posisi Keuangan
- Laporan Laba Rugi Komprehensif
- Laporan Perubahan Ekuitas
- Laporan Arus Kas
- catatan atas laporan keuangan
Sementara khusus bank syariah, wajib pula menyampaikan:
- Laporan sumber dan penggunaan Dana Zakat, Infaq dan Shadaqah
- Laporan SUmber dan Penggunaan Dana Qardh, dan
- Laporan Perubahan Dana Qardh.
Secara umum, dana Zakat yang dilaporkan oleh bank syariah, tentulah bisa dari internal bank maupun eksternal bank. Yang menjadi highlightkemudian adalah dana zakat dari internal bank syariah.
Menyusun laporan keuangan zakat ini, sudah tentu sepaket pula dengan publikasi laporan laba rugi perusahaan. Dari sini dapat dilihat bahwa Bank Syariah tentunya WAJIB membayar 2,5% zakat dari laba yang dihasilkan perusahaan. Sesuatu yang hanya bisa ditemukan pada laporan keuangan bank syariah. Apakah tidak mungkin lembaga non syariah membayar zakat? tentu saja sangat mungkin. Hanya saja aturan mengenai kewajiban pelaporan tentu tidak seketat dan teraudit yang dilakukan bank syariah.
Setelahnya, mari berhitung zakat dari internal masing-masing bank syariah.
Sebut saja Bank Syariah terbesar di Indonesia. tahun lalu membukukan laba 325 Milyar rupiah. Berarti 1 bank ini jika asumsi membayar zakat sebesar 2,5% maka senilai 8,125 Milyar. Ini baru dari 1 bank. Sementara menurut Statistik Perbankan Syariah 2016 yang dirilis OJK, mencatat laba bersih bank umum syariah sebesar 2.949 Milyar rupiah. Ini berarti ada dana zakat sebesar 73,72 Milyar rupiah.