Lihat ke Halaman Asli

Aan Nurfauzan

Virtual Assistant

Kepmenkominfo 172: Aturan Baru yang Mengancam Kebebasan Berpendapat di Media Sosial, Kita Kecolongan!

Diperbarui: 25 Agustus 2024   04:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seiring dengan perkembangan teknologi, penggunaan media sosial telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Namun, perkembangan ini juga membawa tantangan baru, terutama dalam hal regulasi dan kontrol pemerintah. Baru-baru ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) merilis sebuah peraturan kontroversial yang berpotensi membatasi kebebasan berpendapat di media sosial. Peraturan tersebut adalah Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 172 Tahun 2024, yang singkatnya kita sebut saja " Kepmenkominfo 172." (judul aslinya panjang banget!)

 Latar Belakang dan Kontroversi

Kepmenkominfo 172 adalah tindak lanjut dari Permen Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat. Pada tahun 2022, Peraturan Menteri ini sempat membuat heboh di kalangan pengguna media sosial, terutama para gamers, freelancer, dan influencer. Banyak platform seperti Steam dan Paypal sempat terancam diblokir karena tidak melakukan registrasi sesuai peraturan yang ada.

Kepmenkominfo 172 memberikan petunjuk teknis atas Permen Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat, termasuk ketentuan denda administratif bagi platform yang tidak memenuhi perintah Kemenkominfo untuk men-take down konten tertentu. Kepmen ini memberikan batas waktu 24 jam bagi platform untuk menghapus konten yang dianggap tidak mendesak, dan hanya 4 jam untuk konten mendesak. Jika tidak dipatuhi, platform tersebut akan dikenakan denda atau bahkan diblokir di Indonesia.

 Masalah Utama dalam Regulasi

Ada dua masalah utama dalam regulasi ini yang berpotensi membungkam suara masyarakat di media sosial:

1. Keberadaan Pasal Karet: Kepmenkominfo 172 mewajibkan platform untuk memastikan bahwa konten yang dilarang tidak tersebar di platform mereka. Namun, definisi "konten yang dilarang" termasuk frasa seperti "meresahkan masyarakat" dan "mengganggu ketertiban umum," yang sangat tidak jelas dan subjektif. Hal ini memberikan kewenangan besar kepada pemerintah untuk menafsirkan dan menindak konten yang dianggap melanggar aturan tersebut, mirip dengan pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang sering digunakan untuk membungkam kritik.

2. Lemahnya Mekanisme Banding dan Transparansi: Meskipun platform memiliki hak untuk mengajukan keberatan atas perintah Kemenkominfo, prosesnya sangat rumit dan tidak efisien. Dalam waktu yang sangat singkat, platform harus memberikan alasan mengapa konten tersebut tidak melanggar aturan, mengajukan surat resmi, dan menghadapi denda jika tidak memenuhi batas waktu. Hal ini membuat platform cenderung lebih memilih untuk menuruti perintah daripada membela pengguna. Selain itu, tidak ada kewajiban bagi platform atau pemerintah untuk membuat laporan transparansi yang memadai, yang mencakup alasan di balik keputusan, proses pengambilan keputusan, dan analisis konteks.

 Dampak Terhadap Kebebasan Berpendapat

Kasus seperti yang dialami oleh pengguna media sosial bernama Kamal, yang kontennya diminta dihapus oleh Kemenkominfo hanya karena menyertakan komentar dari akun partai politik, menunjukkan bagaimana regulasi ini dapat digunakan untuk membungkam kritik. Razia dan pemberedelan suara warga di media sosial akan semakin masif dengan keberadaan Kepmenkominfo 172 ini.

x/Dok. pri

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline