Lihat ke Halaman Asli

Aninda Putri

MAHASISWA

Membangun Kebebasan Pers yang Beretika

Diperbarui: 6 Juli 2022   10:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kebebasan Pers yang hadir sejak pemberlakuan Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers, memunculkan beragam reaksi dari komunitas Pers dan masyarakat. Berbagai penyalahgunaan atas nama kebebasan Pers tersebut menjadi dasar sebagian masyarakat kita untuk menilai “Pers telah berbuat semena-mena”. Dan ada juga yang menganggap bahwa Pers sebagai penyebab terjadinya berbagai macam masalah yang ada di negara ini tanpa berpikir lebih jauh bahwa kebebasan Pers juga telah memberi manfaat yang lebih besar pada masyarakat. 

Oleh karena itu artikel ini disusun untuk sebagai salah satu laporan naratif dan visual terhadap pelaksanaan program “Membangun Kebebasan Pers yang Beretika”. Ucapan terima kasih kami sampaikan atas perhatian anda sekalian yang telah membaca artikel ini. Dalam berbagai diskusi yang diselenggarakan Dewan Pers di sejumlah kota besar di Indonesia dalam empat tahun terakhir, sering muncul keluhan terhadap kinerja Pers yang telah menyalahgunakan kemerdekaan Pers dalam Pasal 28F Undang-Undang 45. 

Kemerdekaan Pers yang berlaku sejak Mei 1998 terkesan justru telah membuka peluang bagi eksploitasi terhadap kebebasan Pers. Dengan meraup keuntungan sebesar-besarnya, dan mengabaikan fungsi ideal Pers. Penyajian pengemasan informasi dan hiburan melalui media massa lebih bagus karena pertimbangan nilai jual atau rating. 

Akibatnya infotainment mengalahkan informasi, seperti berita gosip selebritis lebih mendapatkan ruang dan waktu di media, juga kisah mistik, dan pornografi. Pers yang seperti itulah yang melahirkan berbagai istilah dalam jurnalisme, seperti jurnalisme anarki, jurnalisme provokasi, jurnalisme preman, jurnalisme pelintir, jurnalisme hitam, dan lain-lain.

Selain mecemooh praktek jurnalisme sejumlah kalangan juga mempertanyakan peran Dewan Pers, yang dinilai tidak punya gigi. Bahkan muncul tuntutan agar Dewan Pers dibubarkan, jika tidak dapat berfungsi sebagai institusi swa-regulasi (self regulation) di bidang Pers. Kewenangan Dewan Pers untuk menegakkan KEWI saat ini dipertanyakan mengingat prinsip kode etik bersifat personal dan otonom. Dimana penataan kode etik tergantung sepenuhnya pada hati murni wartawan. Sebab kode etik dibuat dari, oleh, dan untuk para wartawan yang tergabung dalam suatu organisasi profesi yang berikrar untuk menaati dan melaksanakannya.

Namun, masyarakat cenderung mengabaikan peran organisasi profesi dalam hal penegakan kode etik, dan membebankan kesalahan hanya hanya kepada Dewan Pers atas kegagalan penegakan etika Pers. Padahal fungsi Dewan Pers adalah menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik tanpa perlu menindaklanjuti dengan proses mengadili serta menetapkan saksi atas pelanggaran tersebut.

Sisi lainnya, pembahasan Undang-Undang Pers saat itu juga menginginkan adanya kebebasan mendirikan organisasi profesi, yang sebelumnya hanya mengenal satu organisasi. Akibatnya seketika banyak bermunculan organisasi wartawan baru, yang banyak diantaranya tidak layak disebut sebagai organisasi wartawan. 

Tanpa adanya ketentuan yang mengatur pembentukan organisasi wartawan, terkesan komunitas wartawan menjadi profesi yang kacau, karena siapa saja dapat mengklaim diri sebagai wartawan, dan kemudian mendirikan organisasi. Masalahnya aktivitas organisasi wartawan yang menjamur tersebut justru cenderung menyalahgunakan previlege wartawan, sehingga mengundang keluhan masyarakat.

Dewan Pers mengidentifikasi tiga hal yang mendesak untuk segera direspon guna menjawab keluhan masyarakat, yaitu: (1) Merevisi Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI); (2) Memperkuat Peran Dewan Pers; dan (3) Menyusunan Standar Organisasi Wartawan. Dalam hal ini dipaparkan perbandingan antara teks Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI, 1999) dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ, 2006).

Pertanyaan pertama yang muncul dalam proses merevisi KEWI adalah judul rumusannya, yang berimplikasi pada pemakaian istilah yang dibakukan untuk keseluruhan teks kode etik. Apakah kode etik versi revisi 2006 ini akan disebut sebagai Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) sebagaimana ditandatangani pada tahun 1999 oleh 26 organisasi wartawan, atau disebut sebagai Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagai implikasi dari pemakaian istilah ini dalam Undang-Undang Pers nomor 40 Tahun 1999?

Setelah perdebatan cukup panjang, para anggota Pokja sepakat untuk memakai istilah Kode Etik Jurnalistik, untuk menyelaraskan dengan istilah yang telah tertera dalam Undang- Undang. Sementara itu tentang penggunaan istilah Kebebasan Pers atau Kemerdekaan Pers, telah dipilih Kemerdekaan Pers. Hal tersebut dikarenakan Kemerdekaan Pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik sesuai dengan hati nurani insan Pers.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline