Sekali lagi, sebelum kuteruskan perjalananku. Pernah aku diam merapal hening. Mengundang-Mu datang sebelum pagi, melampaui senja dan melewati banyak malam. Kupersembahkan kidung yang paling bisu di atas altar yang paling sakral. Kepada-Mu yang tak kukenal, Tuhan
Asap-asap dupa melukiskan aksara. Kapas-kapas tergambar kebesaran-Mu dibalik cadar semesta. Engkau bersembunyi dalam doa yang paling sunyi. Di balik jantung mantra yang kurapal, Engkau selalu kusebut. Kepada-Mu yang tak kukenal, Tuhan
Harum kayu-kayu gaharu terbakar api. Membaralah aksara surgawi dalam kitab tua kebesaran-Mu. Aku menukar mantramu dengan tenang yang candu. Merasa penuh, kubawa kebesaran-Mu dalam lantunan kidung yang syahdu. Jumawa, sering aku terseret pada pusaran batin yang angkuh dan berujung di jalan buntu. Sungguh, menafsir-Mu adalah perjalanan panjang yang sampai sekarang belum usai kutempuh. Kepada-Mu yang tak kukenal, Tuhan
Sedang Kau, bersemayam dalam ruang paling sepi. Tak secuil isyarat kehadiran-Mu. Tidak dengan lilin yang mulai kehabisan sumbu. Bukan pula dengan dupa yang mulai tersisa abu. Atau dengan jubah-jubah yang menutupi keringat getirku. Namun, aroma fana ketakutanku,
gelombang redup ilmu dan peradabanku. Aku tetap mengingat-Mu penuh selalu. Kepada-Mu yang tak kukenal, Tuhan
Jakarta, 5 April 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H