Lihat ke Halaman Asli

Aan Hasanudin

Senang bercengkrama denganmu

Si Penyelundup Buku

Diperbarui: 16 Juni 2021   09:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image: Canva

Teett..teettt. Bel berbunyi dengan lantang, suaranya membuat para murid SDN Cigandaria berhamburan keluar kelas. Suasana ramai langsung tercipta, ada yang tertawa lepas bagai burung yang sedang berkicau, ada yang bermain bola di lapangan upacara depan sekolah, dan ada juga yang hanya mengobrol dengan temannya. Waktu istirahat memang yang paling ditunggu oleh semua murid. Namun ada yang berbeda dari pemandangan itu, tampak seorang anak laki-laki masuk ke dalam perpustakaan sekolah, ruangan yang hanya disekat dengan papan karena menyatu dengan kantor guru itu adalah tempat favoritnya menghabiskan jam istirahat. Hampir setiap hari ia disitu.

Nama anak itu adalah Alif Zulfikar Baharuddin, biasa dipanggil Alif. Ia adalah satu-satunya pengunjung setia perpustakaan kecil di sekolah itu. Hampir seluruh penghuni SDN Cigandaria tidak gemar membaca. Kalau saja ada hadiah untuk satu penyelesaian pembacaan buku, mungkin ia akan menjadi pemenang tunggal. Karena memang hanya ia yang setia membaca setiap lembar buku yang tersedia di lemari tua itu.

Di Sekolah Dasar terpencil itu mungkin hanya ia satu-satunya anak yang tahu siapa itu Bung Karno, Bill Gates, Yohannes Surya, Buya HAMKA, Sultan Ageng Tirtayasa, Charles Darwin, Galileo Galilei, dan tokoh-tokoh hebat lainnya. Bahkan mungkin hanya ia juga anak yang sudah mengenal gedung pencakar langit, pondasi cakar ayam, masa pra sejarah, pembantaian Yahudi oleh Hitler, penemuan kertas oleh bangsa China, bangsa Yunani kuno, dan penemuan roda untuk pertama kali oleh bangsa Mesopotamia. Semua itu ia dapat dari ruang sempit bersekat papan dan lemari tua yang kemudian dinamakan perpustakaan. Namun dari sekian banyak buku yang tersedia, ia lebih suka novel, baik fiksi dan non fiksi, terlebih yang bergenre perang. Dari sinilah ia mulai mengenal sejarah, ilmu yang mempelajari tentang masa lampau.

Teett..Teett...Teett. Bel kedua tanda berakhirnya jam istirahat berbunyi, menandakan waktu dengan buku berakhir sudah. Karena merasa menemukan buku yang menarik, ia pisah beberapa buku untuk kemudian diletakan di lemari bagian atas. Ia tinggalkan ruang favoritnya dan berlari menuju kelas. Disana Alif sudah ditunggu pelajaran B.Indonesia dan IPA, pelajaran yang menyenangkan. Ia belajar dengan sungguh-sungguh. Satu jam, dua jam berlalu, waktunya pulang sekolah. Anak-anak berhamburan keluar kelas dengan semangat. Inilah waktu yang paling ditunggu. Ia bergegas menuju perpustakaan seperti biasanya. Ruangan masih sepi, para guru masih di kelas masing-masing. Ia ambil buku yang dipisahkan itu, tidak tanggung-tanggung, tujuh buku ia masukan ke dalam tas. Inilah kebiasaan buruknya, gemar mengambil buku tanpa izin. Padahal bisa saja ia meminjam, akan tetapi sepertinya ia lebih suka cara seperti ini. Mengambil sesukanya, dan sudah barang tentu tanpa tenggat waktu yang ditentukan, bebas semaunya. Ia memang tidak terlalu suka peraturan 'hanya boleh meminjam satu buku'. Baginya, satu buku belumlah cukup. Hidup tanpa buku ibarat menggambar tanpa pensil warna, kurang indah. Sejurus kemudian terdengar derap langkah kaki memasuki ruangan, ia kenal bunyi langkahnya. Pasti pak Suwardi. Benar saja, tebakannya tak meleset. Pak Suwardi masuk dengan menjinjing tas warna hitam kusam.

"Oi, sedang apa kau sendirian disini?." Pak Suwardi bertanya dengan nada terkejut. Sepertinya ia heran mengapa ada murid di kantor guru saat jam pulang sekolah, sendirian pula. "Oh iya, bapak lupa. Kau kan kutu buku di sekolah ini, pasti kau mau baca buku?." Pak Suwardi melanjutkan pembicaraannya, "Alif si anak pintar, sila kalau memang kau mau meminjam, pinjam saja buku yang kau mau. Baca semuanya sampai kau puas dengan duniamu. Tak banyak murid disini yang mau bersahabat dengan buku. Padahal ia adalah jendela dunia, membaca banyak buku bisa membuka cakrawala. Bapak tahu kau suka mengambil buku itu banyak-banyak. Jangan kira tidak ada yang tahu tindakanmu Alif."

Deg, sekejap saja Alif tertegun. Apakah pak Suwardi selama ini mengetahui hobinya menyelundupkan buku. Kalau iya, mengapa beliau diam saja. Mengapa ia tidak menghukumku, bukankah tindakannya menyalahi aturan perpustakaan. Beragam pertanyaan muncul di kepala Alif. Namun yang pasti, sejumlah buku itu sudah aman di dalam tasnya. Ia masih bingung, apakah perkataan pak Suwardi tadi bentuk teguran untuknya, teguran berupa sindiran secara halus. Seperti dalam pelajaran B.Indonesia, majas ironi. Apakah pak Suwardi sebenarnya sedang memarahiku. Belum selesai pertanyaan di kepala Alif, tiba-tiba saja pak Suwardi menegurnya. "Hei, kenapa diam saja. Bukankah kau mau meminjam buku. Sila ambil bukunya, pilih yang kau mau. Tapi jangan lupa dikembalikan yah."

Ah, sepertinya pak Suwardi tidak sedang marah, pikir Alif. Ia coba pandangi gestur pak guru muatan lokal itu, tidak nampak aura kemarahan dalam sorot matanya. Mungkin memang pak Suwardi mengizinkanku mengambil buku.

"Ah tidak jadi pak, hanya lihat-lihat saja. Tadi sudah pilih-pilih, tapi belum ada yang menarik. Permisi pak, Alif mau pulang." Ia cium tangan pak guru, lalu pergi sejurus kemudian. Buru-buru ia pergi karena memang dalam tas punggungnya sudah tersimpan dengan aman tujuh buku novel anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline