Hari ini aku dipaksa berpikir, mencerna suatu problema kepribadian dalam manusia. Ia biasa disebut sebagai ekstrovert dan introvert. Aku jadi terpikir mengenai ini ketika secara tidak sengaja menemukan kutipan buku di Instagram, kurang lebih bunyinya seperti ini.
“Aku tidak pernah merasa bersalah atau menyesal karena aku seorang introvert”
Yaps, kutipan dari buku berjudul Diary Introvert karya Hardy Zhu itu membuat diriku tercenung. Sebuah kutipan sederhana sebenarnya, namun maknanya mendalam. Jika kita mau menelaah lebih lanjut, dalam kalimat tersebut tersirat makna bahwa ada anggapan menjadi introvert itu suatu kesalahan. Ya, ketika penulis buku itu mengatakan “Aku tidak pernah merasa bersalah atau menyesal karena aku seorang introvert”, bisa dipahami kalau pendapat mayoritas menganggap introvert itu suatu kesalahan. Karena jika mayoritas menganggap introvert bukan suatu masalah, maka tidak akan lahir statement seperti itu. Pengakuan seperti itu justru menampakan dengan gamblang kalau introvert sedikit kurang diterima dalam pergaulan.
Pertanyaan besarnya adalah ada apa dengan introvert. Apakah salah jika kita menjadi introvert. Ini yang akan dibahas sedikit. Catatan penting disini adalah bahwa penulis sendiri pun seorang introvert.
Yaps, mari kita langsung ke pembahasan.
Sejak SMA (read:MAN, karena penulis anak MAN hehe) dahulu penulis seringkali membaca tentang kepribadian introvert dan ekstrovert. Mulai dari browsing, baca beberapa buku, sampai nonton video YouTube dilakukan untuk bisa menemukan definisi sejati tentang kepribadian manusia ini. Hingga akhirnya ditemukan kesimpulan yang paling pas, yaitu ekstrovert dan introvert hanyalah persoalan mengisi energi seseorang. Simple-nya, seorang ekstrovert akan merasa energinya terisi ketika bertemu banyak orang, sedangkan introvert akan merasa dicharger energinya ketika sendiri. Inilah yang mendasari perbedaan itu.
Perbedaaan itu lalu menimbulkan jurang aktivitas yang berbeda. Ekstrovert yang cenderung suka hang out, nongkrong atau sederet aktivitas ramai lainnya dan introvert yang cenderung sibuk dengan dunianya sendiri. Seperti baca buku, menekuni hobi atau hal lain yang setidaknya membuat diri senang walaupun tanpa melibatkan banyak orang.
Kenapa penulis sampai dikesimpulan bahwa introvert dan ekstrovert hanyalah sisi dari cara seseorang mengisi energi, karena pada dasarnya tidak ada yang benar-benar introvert atau ekstrovert. Keduanya hanyalah kecenderungan condong di bagian mana. Seorang introvert kadangkala berada di aktivitas ramai, dan seorang ekstrovert bisa juga berada dalam aktivitas kesendirian. Itu adalah hal normal dalam pergaulan. Hanya saja intensitas yang berbeda dari keduanya, lebih sering asyik dengan dunianya atau berinteraksi dengan manusia lain.
Analisa penulis sendiri berada pada titik ini, yakni intensitas introvert dan ekstrovert dalam melakukan aktivitas sehari-harinya. Mari kita garis bawahi, INTENSITAS.
Kecenderungan seorang introvert yang lebih dominan menyendiri ini yang seringkali disalah pahami. Tidak ada yang tahu pasti, dunia ini diisi mayoritas ekstrovert atau introvert. Namun sebagai seorang introvert, penulis merasa introvert berada pada kategori minoritas. Selain karena pada dasarnya manusia adalah zoon politicon, juga kita hidup pada kultur masyarakat yang menjunjung tinggi ineraksi antar sesama. Indonesia adalah negara yang santai, bertemu dengan tetangga atau sekedar ngobrol di warung kopi adalah budaya kita. Bahkan, dengan menjamurnya tempat-tempat nongkrong, mulai dari Cafe yang menyediakan Wifi sampai angkringan pinggir jalan menandakan fakta tak terbantahkan kalau bersantai sambil menikmati kopi adalah budaya bangsa yang bertahan tanpa tergerus arus globalisasi. Pengaruh budaya asing nyatanya tidak mampu menggeser budaya minum kopi ciri khas Indonesia.
Sebagai seorang introvert, dalam beberapa momen penulis kadang kesulitan dalam membangun relasi dengan sekitar. Cenderung asyik dengan dunia sendiri kadangkala menimbulkan efek “berbeda” dan “dibedakan” oleh mayoritas (read: ekstrovert). Pengalaman 20 tahun lebih hidup di dunia membawaku pada kesimpulan ini. Katakanlah ekstrovert ini sebuah kelompok, dan setiap kelompok pasti mempunyai kebiasaannya masing-masing. Ada kelompok sepakbola, futsal, komunitas motor, atau kelompok-kelompok lainnya. Untuk bisa masuk kesana, tentu kita harus punya kesamaan, karena biasanya mereka disatukan atas dasar kesamaan hobi. Jelas saja, seseorang diluar itu sulit untuk bergabung. Penulis sendiri pernah suatu kali mencoba masuk kedalam kelompok yang dipersatukan oleh sepakbola. Ya, mencoba bergabung dengan mereka yang tiap menjelang senja selalu bermain dengan si kulit bundar. Agak sulit memang, selain karena ada ketidakcocokan gaya komunikasi, aku juga bukan seorang yang mahir bermain sepakbola. Sekali bermain, dua kali, dan bisa ditebak, eksperimen itu hanya bisa bertahan satu minggu. Hal pertama yang didapat setelah mencoba menjadi bagian dari mereka adalah ditertawakan karena skill olah bola yang buruk. Namun yang paling menyebalkan dan melahirkan keputusan untuk berhenti masuk ke circle itu adalah kenyataan kalau mereka sebenarnya tidak ingin aku berada disana, sepertinya. Penulis menyadari itu setelah melihat gestur kurang menyenangkan dari mereka. Tidak ada yang mau satu tim dengan orang yang skill olah bolanya payah. Cukup menyedihkan, tapi berusaha sebisa mungkin untuk tidak ambil pusing. Toh, sepakbola bukan bagian dari hobi penulis.
Berdasarkan pengamatan, untuk bisa masuk dalam suatu kelompok kita harus menanggalkan baju asli kita. Misalnya, untuk bisa diterima di lingkungan perokok, mau tidak mau kita harus terlibat merokok walaupun sebenarnya kita bukan perokok aktif. Rokok bisa menjadi alat komunikasi paling efektif selain kesamaan hobi. Mayoritas tiap kelompok itu perokok, apalagi kelompok yang dipersatukan karena tongkrongan dan kopi. Wah jangan ditanya, asap dan pekatnya malam adalah teman terbaik untuk sekedar menghabiskan waktu.
Penulis sendiri sebenarnya bukan perokok aktif. Kebiasaan hidup tanpa asap rokok itu bertahan setidaknya sampai duduk dibangku kuliah semester lima. Cukup lama untuk ukuran bertahan tanpa rokok. Namun lagi-lagi, untuk sekedar bisa diterima dalam kelompok seseorang harus menanggalkan baju aslinya. Kini, sesekali penulis pun menerima asap itu masuk ke paru-paru ketika sedang berada dalam tongkrongan. Berdasarkan pengamatan penulis sendiri, ada sisi menarik antara perokok aktif dan perokok pasif. Ya, seorang perokok aktif cenderung lebih banyak teman dibanding perokok pasif. Selain pengamatan sekitar, penulis mengalami sendiri hal ini. Dimana seseorang akan jauh lebih mudah diterima dalam tongkrongan ketika diantara mereka sama-sama ngudud, istilah lain untuk penyebutan aktivitas merokok. Entah kenapa, perokok pasif kurang diterima dalam lingkungan perokok aktif. Belum ada jawaban pasti mengenai ini.