Lihat ke Halaman Asli

Aan Hasanudin

Senang bercengkrama denganmu

Polemik Zoom dan Perang Dagang AS-Tiongkok

Diperbarui: 22 April 2020   18:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Bagi pelajar dan pengajar baik di sekolah ataupun perguruan tinggi pasti tidak asing dengan aplikasi video conference yang akhir-akhir ini banyak dipakai untuk kuliah daring. Bukan hanya sektor pendidikan saja yang memanfaatkan penggunaan Zoom, para pekerja kantoran hingga pejabat negara pun menggunakan aplikasi ini untuk menggelar rapat online. Hal ini merupakan imbas dari PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) menuntut kita untuk melakukan Work From Home dan e-learning.

Zoom ini memang sedang melambung namanya sejak Pandemi Corona mewabah di berbagai negara. Bahkan perusahaan yang dipimpin Eric Yuan tersebut mampu meraup untung hingga Rp66,7 Triliun dalam tiga bulan terakhir, dan membuatnya untuk pertama kali masuk jajaran orang terkaya versi majalah Forbes. Hal ini penulis ketahui sejak CNNIndonesia memberitakannya. Namun, seperti pepatah lama yang mengatakan "semakin tinggi pohon semakin kencang angin berembus". Hal itulah yang dialami Zoom sekarang. Perusahaan tersebut diterjang isu mengenai tidak terjaminnya keamanan pengguna dan dituding menjual data pemakainya ke pihak ketiga. Ini merupakan pukulan telak bagi Eric Yuan, mengingat kabar buruk ini membuat banyak pemakainya mulai meninggalkan penggunaan aplikasi ini. Artinya akan ada jutaan orang dari banyak sektor yang mulai uninstal Zoom dan beralih ke media lain.

Di luar negeri, pemerintah Singapura telah melarang pelajar dan guru menggunakan Zoom. CEO Space-X, Elon Musk juga melarang karyawannya bekerja melalui Zoom, Elon lebih menyarankan kepada karyawannya untuk bekerja melalui email, sms, atau telepon dibanding aplikasi berbasis layanan video conference tersebut. Kini, giliran Google juga melarang pekerjanya menggunakan aplikasi serupa. Keamanan pengguna mungkin belum jadi prioritas perusahaan, mengingat Zoom ini naik daun terlalu cepat. Bahkan, CEO perusahaan tersebut juga mengakui bahwa perusahaannya berkembang terlalu cepat dan salah langkah. Isu yang berkembang adalah bahwa ribuan data penggunanya dijual ke situs dark web. Bagi pembaca yang belum mengetahui apa itu dark web, penulis akan sedikit menjabarkan.

Oke, Lanjut.

Dark web adalah bagian dari internet yang tidak bisa diakses oleh sembarang orang. Untuk mengaksesnya, kita memerlukan software tertentu yang bisa membuat diri kita menjadi anonim dan tidak dapat dilacak. Bisa dibilang dark web ini kebalikan dari clear net atau web yang biasa kita pakai sehari-hari. Konon katanya, dark web ini tempat terjadinya transaksi narkoba, tempat para mafia, pembunuh, pedofil, serta para hacker berkeliaran. Walaupun sumber lain mengatakan bukan hanya pelaku kejahatan saja yang beraktivitas disana, namun juga pejabat pemerintah, intel, dan pekerja perusahaan internet ikut beraktivitas disana. Masih banyak misteri yang belum terkuak dari dark web ini, secara sederhana bisa dipahami bahwa aktivitas yang tidak mungkin dilakukan melalui server biasa (clear net) maka akan dilakukan melalui dark web.

Ini menjadi suatu ketakutan tersendiri jika memang terbukti bahwa Zoom melakukan tindakan penjualan data ke dark web. Bagaimana bisa kita bekerja dari rumah jika dihantui oleh keamanan yang tidak terjamin. Beberapa perusahaan teknologi lainnya memang mengadakan enkripsi end to end yang berarti bahwa aktivitas hanya bisa dilihat oleh kita dan pengguna lain yang sedang melakukan percakapan dengan kita. Contoh penerapan keamanan seperti ini ada pada WhatsApp.

Namun jika kita melihat dari sudut pandang lain, misalnya dari kacamata geopolitik internasional, tudingan terhadap Zoom terlihat seperti persaingan dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok. Mari kita telaah lebih jauh. Zoom yang didirikan oleh Eric Yuan merupakan perusahaan teknologi asal Tiongkok. Sejak Maret 2018, Amerika melalui Donald Trump mengumumkan untuk menaikan bea masuk terhadap barang-barang asal negeri tirai bambu tersebut menjadi US$50 Miliar berdasarkan Pasal 301 Undang-Undang Amerika Serikat Tahun 1974 Tentang Perdagangan. Hal ini membuat Tiongkok berang dan menyulut terjadinya persaingan keras antara kedua negara. Tiongkok memang menjelma menjadi kekuatan baru di dunia, bukan hanya di sektor ekonominya saja, Militer Tiongkok juga berkembang pesat. Sebagai negara adidaya, Amerika jelas terusik dengan kehadiran Tiongkok di kancah perdagangan Internasional. Tiongkok sendiri sempat menyetop pembelian produk pertanian dari AS. kemudian, perusahaan ponsel asal Tiongkok Huawei dilarang penjualannya di AS. Memanasnya persaingan kedua negara terjadi karena masing-masing ingin menjadi raja perekonomian dunia. Walaupun beberapa waktu lalu telah disepakati penghentian fase I perang dagang antara kedua negara, tidak menutup kemungkinan persaingan masih terus berlanjut.

Mari kita cermati lagi.

Penulis berpikir demikian karena pada awalnya tudingan soal keamanan terhadap Zoom datang dari Amerika, lebih tepatnya menurut berita dari CNN Jaksa Agung New York, Letitia James mempertanyakan soal keamanan pengguna dan juga FBI berpendapat bahwa aktivitas meeting melalui aplikasi Zoom berpotensi terjadi peretasan. Tak lama kemudian, berbagai negara ikut bersuara mengenai keamanan data pengguna tersebut. Penulis berpikir bahwa, mungkin saja keamanan data belum diperbaiki oleh perusahaan pimpinan Eric Yuan tersebut, dan ini dimanfaatkan Amerika untuk menyerang. Apalagi, mulai timbul opsi atau tawaran kepada masyarakat dunia untuk beralih kepada Google Meet dan Webex, yang dimana dua perusahaan tersebut berasal dari Amerika Serikat. Ya, ini semacam konspirasi. Namun, jika dilihat dari alurnya secara tersirat terbaca bahwa ini tidak lebih dari persaingan dagang antar kedua negara. Google Meet dan Webex yang merupakan perusahaan yang sama dengan Zoom bisa mendapatkan tambahan konsumen, dan keuntungan besar tentu sedang menuju mereka. Keras memang, tapi inilah kehidupan. Hanya yang kuat yang akan menang.

Berbicara soal keamanan data, perusahaan Startup memang rawan diguncang oleh isu ini. Kita dulu sempat dihebohkan oleh isu serupa melalui aplikasi perubah wajah FaceApp, bahkan Facebook juga sempat dihantam isu penjualan data saat berlangsungnya pemilu di AS. Lalu terbesit di pikiran, apakah memang di zaman serba digital ini data kita dijamin keamanannya. Kalau perusahaan memang mau menjual data penggunanya, itu hal mudah bagi perusahaan manapun, mengingat ketika Log In otomatis kita memberikan data pribadi. Data pribadi jutaan orang itu terkumpul menjadi big data. Kita tidak pernah tau apakah data kita dibiarkan tersimpan dengan aman atau memang digunakan untuk hal-hal lain. Jawabannya hanya Tuhan dan perusahaan terkait yang tau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline