Yoyok Riyo Sudibyo. Kenal nama ini? Ia adalah Bupati Batang periode 2012-2017 yang perawakannya kecil dan pernah dianugerahi Bung Hatta Anti-Corruption Award 2015 atas prestasinya dalam pengelolaan APBD Kabupaten Batang. Padahal sebagai seorang yang dididik sebagai tentara, Yoyok mengaku tidak memahami seluk beluk birokrasi pemerintah daerah. Namun, dalam lima tahun kepemimpinannya, Yoyok mampu menorehkan berbagai prestasi yang patut diacungi jempol.
Yoyok yang berpangkat terakhir sebagai Mayor, menjadi anti tesis dalam pergulatan politik praktis. Ketika banyak petahana berlomba untuk melanjutkan tugasnya sebagai kepala daerah, Yoyok yang pernah bertugas di Badan Intelejen Negera ini justru keukeuh dengan janjinya diawal dia memimpin. “Cukup satu periode memimpin Batang,” ujarnya. Tentu dengan prestasinya, hal tersebyt adalah sebuah keputusan yang menurut saya sulit diterima. Meski kemudian muncul demonstrasi yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat Batang yang memintanya untuk kembali maju dalam pilkada Batang, tetapi Yoyok tetap bergeming dengan pendiriannya.
Lain Yoyok lain pula Agus. Yoyok yang tahun 2012 berhasil memenangi kontestasi Pilkada Batang, lain halnya dengan Mayor Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang harus menghentikan langkahnya di babak pertama “kompetisi adu gagasan” dalam pilkada DKI Jakarta.
AHY pemegang Bintang Adi Makayasa, bintang yang sama yang pernah diraih SBY saat lulus Akademi Militer. Pemegang Adi Makayasa merupakan lulusan terbaik Akademi Militer yang kelak diproyeksikan menjadi panglima TNI. Kabarnya, per 1 April 2017 ini, Agus akan menyandang pangkat Letnan Kolonel. Sebuah pangkat yang cukup bergengsi di kalangan militer. Apa hendak dikata, AHY harus mengubur dalam-dalam karir cemerlangnya di militer.
Majunya AHY dalam kompetisi DKI 1 mengejutkan banyak pihak. Pasalnya, tidak sekadar karir cemerlang AHY yang dipertaruhkan tetapi juga gengsi partai menjadi pertimbangan penting. Tetapi publik lupa bahwa Ketua Umum Partai Demokrat yang mantan presiden juga pernah malang melintang dalam dunia militer, SBY adalah ahli strategi. AHY konon diajukan karena memiliki rekam jejak yang relatif bersih dari noda politik. Modal ini sangat penting karena kompetitor dengan ribuan buzzer-nya akan sibuk mencari noda-noda kontestan untuk diungkap ke publik. Strategi ini jitu. Para buzzer bayaran terbukti kesulitan menemukan “koreng” AHY. Meski hanya meraup suara sekira 17 persen, AHY sebagai pendatang baru dalam politik Indonesia, kini sudah banyak dikenal masyarakat karena pemberitaan massif di semua media baik cetak maupun elektronik termasuk media sosial. Sebuah modal yang kelak bisa dimanfaatkan untuk sebuah target lainnya.
Namun di balik kekalahan AHY, hari-hari ini publik menunggu harap-harap cemas ke manakah dukungan AHY akan diberikan. Boleh dikata, saat ini AHY bisa menjadi “joker” bagi kedua pasangan yang melaju ke babak kedua. Saling klaim kedua pasangan menghiasi halaman media. Rakyat menunggu ujung pilkada rasa pilpres ini.
Dari kedua Mayor ini kita bisa belajar beberapa hal. Pertama, Yoyok sebagai seorang Bupati yang di awal kepemimpinannya mengaku buta birokrasi namun pada akhirnya ia mampu membawa Kabupaten Batang meraih banyak prestasi. Kuncinya adalah belajar, belajar dan belajar.
Kedua, di saat karir kedua pensiunan Mayor ini sedang menanjak, Yoyok yang diprediksi bisa menduduki kursi Batang 1 untuk kali kedua dan AHY yang diproyeksikan menjadi pemimpin masa depan TNI, keduanya rela mengubah haluan. Yoyok tidak bersedia maju dalam kompetisi Pilkada Batang yang baru saja usai digelar, dan Agus harus rela meninggalkan karir militernya untuk maju dalam kompetisi DKI 1. Sahabat, hidup ini adalah pilihan. Ketika sebuah jalan kita pilih maka jalan yang lain tidaklah bisa kita lalui. Tentu dengan resiko yang kelak akan kita hadapi atas pilihan itu.
Ketiga, dalam pemberitaan sebuah media online, sepeninggalnya dari kursi Bupati Batang. Usai menyelesaikan tugasnya pada Hari Minggu, 12 Februari 2017 lalu, Yoyok bersama keluarga saat ini mengontrak rumah di daerah Pekalongan dengan ukuran 70 m2. Ukuran yang sangat sederhana bagi seorang mantan bupati. Sebuah pilihan hidup yang langka dan jauh dari kesan “post power syndrome” yang biasa dialami banyak orang ketika baru usai berkuasa.
Dari Mayor (Purn) Yoyok kita belajar tentang rasa. Ya, sebuah rasa hidup yang sama ketika memiliki jabatan dan tidak. Ternyata semua rasa itu sama. Hanya masalah waktu yang membedakannya. Enaknya segelas kopi susu hanya ketika ada di mulut. Namun ketika sudah sampai di perut, maka rasanya akan sama dengan segelas air putih. Butuh waktu sekian detik untuk membuatnya berbeda rasa.
Nyamannya naik pesawat kelas ekonomi dan bisnis ternyata sama. Hanya saat kita dalam penerbangan yang membedakannya. Ketika kita sudah sampai di tujuan, kita akan turun pada waktu dan tempat yang sama. Seorang penumpang kelas bisnis tidak diperkenankan membawa kursinya ketika telah sampai. Begitu pula penumpang kelas ekonomi. Keduanya sama-sama meninggalkan segala kenyamanan dalam pesawat. Dan Yoyok telah membuktikannya..
Gengsi..? Ah sudahlah.. tanggalkan rasa itu.. gengsi juga hanya masalah rasa dan waktu..