Lihat ke Halaman Asli

AANG JUMPUTRA

Admin Social Media

Ngeyel

Diperbarui: 25 Mei 2020   08:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

JC Tukiman Taruna (Tukiman Tarunasayoga)

Pengajar pascasarjana, MK Perencanaan Pengembangan Masyarakat

Ngeyel

JC Tukiman Taruna (Tukiman Tarunasayoga)

Pengajar pascasarjana, MK Perencanaan Pengembangan Masyarakat

Terutama selama fase-fase kerja di/dari rumah atau WFH selama wabah corona ini, -berikut kemudian muncul ada peraturan atau pun perintah tentang  PSBB, tetap jaga jarak, pakailah masker, rajinlah cuci tangan pakai sabun, jangan mudik dulu dll- , kata ngeyel semakin sangat sering diucapkan oleh siapa pun karena ternyata terjadi banyak banget pelanggaran. Dan.....pelanggaran itu dilakukan sebagian besar oleh orang-orang ngeyel.

 Ucapkan ngeyel sebagaimana Anda mengatakan ember; dan sejauh saya tahu ungkapan bahasa Jawa ngeyel ini tidak ada padanannya yang tepat/pas dalam bahasa Indonesia.  Memang dalam bahasa Indonesia ada ungkapan yang sering dianggap sama, yaitu kata bandel, artinya "tidak mau menurut atau mendengarkan kata orang; kepala batu, berkeras, gigih;" namun ngeyel ada nuansa lain (lebih dalam) dari sekedar bandel. Di mana itu?

Seseorang disebut ngeyel, -dan gejala itu sangat banyak terjadi terutama di jalan raya dan tempat umum lainnya saat-saat ini- , jika  orang itu  bersikap "emoh kalah" (tidak mau kalah/mengalah), dan "nekad gugu benere dhewe," yakni bersikap nekat serta merasa paling benar. Senjata pamungkas orang bandel mungkin ada pada sikap kepala batu; sedangkan senjata andalan orang ngeyel lebih berbahaya karena ia bersikap nekat karena beranggapan dirinyalah paling benar terhadap apa pun dan siapa pun yang dihadapi.

Mengapa ngeyel? Orang yang memiliki kecenderungan  (kebiasaan?) ngeyel umumnya karena ia ingin menutupi sesuatu kekurangan (besar, fatal) dalam dirinya, dan hanya ngeyellah satu-satunya cara yang dianggapnya ampuh untuk menutupi kekurangan itu. Semakin ada "bahaya" kekurangannya akan terkuak, semakin keraslah sikap ngeyel ditunjukkan. Begitu diberhentikan polisi misalnya, orang yang memang memiliki kecenderungan ngeyel  pasti sudah "bentak" polisi duluan, atau pasang wajah/aksi garang. Intinya, dia sejak awal sudah bersikap tidak mau mengalah apalagi mengakui kesalahannya,  dan hal itu sejak awal sudah disadarinya.

Di samping mau menutupi kekurangan/kelemahannya, orang ngeyel mempunyai kebiasaan "menyalahkan pihak/orang lain, apa pun masalahnya." Ia pasti tidak akan menyalahkan dirinya, dan karena itu apa pun atau siapa pun bisa menjadi kambing hitam baginya pada saat itu untuk ngeyel. Ketika disetop atau diperingatkan petugas  karena tidak menggunakan masker misalnya, pe-ngeyel-annya segera muncul misalnya dengan mengatakan: "Di sana tadi saya tidak ditegur apa pun oleh petugas yang sedang tugas di situ." Apakah di sana benar ada petugas lain yang sedang bertugas; itu tidak penting bagi tukang ngeyel, dan boleh jadi ia akan melanjutkan kata-katanya: "Petugas harus konsisten dong." Semakin canggih menemukan kambing hitam, si tukang ngeyel merasa semakin bangga apalagi kalau berhasil.

Sikap ngeyel cenderung dilakukan untuk menunjukkan superioritas dirinya atas siapa pun yang dihadapi saat itu. "Kau tidak tahu siapa saya?" atau boleh jadi lebih kejam dari kata-kata itu: "Minggir kau, pangkatmu apa?" Memang dalam kenyataan sehari-hari, orang-orang berpangkat atau berkedudukan tinggi dalam masyarakat bisa saja menyalahi aturan,  dan karena itu sebetulnya wajar saja kalau harus terkena tindakan/sanksi. Namun dasar ngeyel, daripada kena sanksi lebih baik "melemahkan posisi petugas" dengan cara menunjukkan superioritas dirinya seraya meremehkan atau merendahkan orang yang sedang bertugas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline