Tukiman Tarunasayoga (JC Tukiman Taruna)
Pengajar pascasarjana, MK Community Development Planning
Atas nama "melayani rakyat/masyarakat" tidak mustahil ada saja pejabat yang (harus) marah-marah, dan marah-marahnya itu bisa terjadi secara horizontal-lokal saja, seperti marah-marah kepada jajarannya; namun bisa juga skalanya vertikal-interlokal seperti misalnya bupati marah-marah kepada menteri; bisa juga walikota "ngedumeli" presiden. Apabila marah-marah itu dirunut ke belakang dengan pertanyaan: "Mengapa sih harus marah-marah begitu?" pasti jawabannya tunggal, yakni geregetan.
Tentu lalu bisa ditanyakan lagi: "Mengapa geregetan?" Nah, ini dia: Maksud hati mau cepat-singkat-langsung target melayani masyarakat yang diabdinya, koq ternyata banyak hambatan. Dalam skala horizontal-lokal ada saja kepala dinas yang geraknya lamban misalnya, atau langkah eksekusinya melenceng. Dalam skala vertikal-interlokal, pejabat itu merasa birokrasinya bertele-tele menyulitkan, data tidak sinkron, dan lain sebagainya.
Sumber terjadinya ketidaksabaran para pejabat (daerah) dan berujung ke geregetan (baca: marah-marah mulu), menurut saya ada tiga, yakni (a) pemaknaan otonomi daerah yang tidak lentur, (b) tidak sinkronnya data pusat--daerah , dan (c) respons atau permintaan masyarakat yang berlebihan.
Pemaknaan otonomi daerah yang "masih tertatih-tatih di sana-sini," sangat boleh jadi dapat disebut sebagai awal mula pemicu geregetan. Meskipun secara regulasi dan pelaksanaan otonomi daerah sudah cukup lama berlangsung, namun silih-bergantinya pejabat daerah (setiap lima tahun) sangat memungkinkan makna substansial otonomi daerah disikapi sangat kaku di satu sisi, mungkin saja di sisi lainnya justru sangat lentur.
Cara menyikapi substansi otonomi daerah oleh pejabat (daerah) berkorelasi dengan perangainya menjabat: Ada yang relatif abai terhadap pusat; contohnya tiba-tiba mengumumkan kebijakan lockdown untuk masyarakat di wilayah kekuasaannya; ada juga yang pelesiran ke luarnegeri tanpa ba...bi....bu ke pusat. Ada juga yang akomodatif dengan pusat ketika "ada maunya." Berbagai perangai menjabat semacam itulah dapat "meledak" menjadi geregetan ketika ada desakan-desakan masalah pelayanan publik.
Ketersediaan data di pusat dan daerah yang (sering????) tidak sinkron, rasanya menjadi pemicu utama munculnya berbagai geregetan baik di pusat maupun di daerah.
Ada banyak faktor penyebab terjadinya ketidaksinkronan data, dan hal itu dapat menimbulkan masalah baru nan pelik ketika dari pusat ada program ke daerah. Karena ini program pusat, tentu pemegang kendali ada di pusat, data yang dipakai atau diacu tentu data yang dimiliki oleh pusat, sementara data di daerah sangat boleh jadi berbeda dari data yang diacu pusat. Meledaklah geregetan ...........dorrrrrrrrr............. dan karena setiap pejabat memiliki perangai menjabat sendiri-sendiri, ungkapan geregetannya juga bermacam-macam.
Pejabat daerah selalu berkilah (wajarlah) betapa dia berada di ujung terdepan yang langsung berhadapan dengan masyarakat yang diabdi dan dilayaninya; sementara itu respons atau tanggapan masyarakat, -lebih-lebih kalau ada program pusat- , sangat bermacam-macam. Tuntutan masyarakat (yang macam-macam) sangat sering membikin pusing tujuh keliling pejabat daerah, maka tidaklah mengherankan kalau terjadi ledakan geregetan ........dorrrrrrrrr ........lagi.